WahanaNews-Bintan | Penyidik Kejaksaan Negeri (Kejari) Bintan mengungkap adanya indikasi niat jahat (mens rea) oleh tiga tersangka korupsi pengadaan lahan tempat pembuangan akhir (TPA) Tanjunguban.
Ketiga tersangka yakni Supriatnya, Ari Syafdiansyah dan Hery Wahyu (Kadis Perkim Bintan) sudah merencanakan 'permainan' pengadaan lahan TPA itu sejak 2016.
Baca Juga:
Polisi Ungkap Motif Ivan Sugianto Paksa Siswa SMA Sujud-Menggongong
Hal itu terungkap dari keterangan tersangka Ari Syafdiansyah kepada jaksa penyidik. Arif berperan sebagai broker atau perantara dengan pemilik lahan yang juga menjadi tersangka (Supriatna).
"Karena ketiganya terbukti merencanakan mens rea (niat jahat) dalam pengadaan lahan TPA itu maka kita tetapkan mereka sebagai tersangka," ujar I Wayan, kemarin.
Wayan menceritakan kerjasama yang erat dibentuk oleh ketiga tersangka dua tahun sebelum terjadinya pengadaan lahan TPA.
Baca Juga:
Sempat Kaget Waktu Ditangkap, Kejagung Jebloskan Ronald Tannur ke Rutan
Tersangka Ari mengaku pada 2016 lalu itu dia dihubungi oleh tersangka Hery Wahyu bahwa akan ada rencana pengadaan lahan TPA di Tanjunguban, Kecamatan Bintan Utara.
Dari informasi itu, Ari bergerak untuk mencari lahan yang akan digunakan untuk TPA tersebut.
Kemudian dalam pencarian lokasi lahan itu bertemulah tersangka Supriatna selaku pihak yang memegang surat wajib daftar 1981 dengan luas 2 hektare (Ha).
Lalu Ari dan Supriatna bersepakat untuk mengurus tanah tersebut ke pihak pemerintah agar diterbitkan surat sporadik. Akhirnya diterbitkanlah sporadik dengan nomor 10/kts/2017 tertanggal 26 April 2017 atas nama Ari.
Nyatanya surat sporadik yang terbit itu lokasinya tidak sama dengan lokasi yang menjadi dasar penerbitan surat tersebut. Kemudian lokasi sporadik yang baru itu tumpang tindih dan overlap di atas 3 bidang tanah milik orang lain yang telah bersertifikat.
Yaitu lahan milik Thomas dengan SHM Nomor 406 tahun 1997, lahan milik Maria dengan SHM Nomor 390 tahun 1997, dan lahan milik Suzzana dengan SHM Nomor 196 tahun 1997. Kemudian juga Kawasan Hutan Produksi Terbatas (HPT) seluas 5.711 m2.
"Setelah itu ditetapkan panitia perencanaan persiapan dan pelaksanaan dalam pengadaan lahan. Tetapi dalam pelaksanaannya masing-masing panitia tidak melakukan tugas dan tanggung jawabnya antara lain tidak adanya dokumen perencanaan pengadaan tanah (DPPT). Lalu tidak dilakukannya pendataan awal lokasi rencana pembangunan tidak melakukan verifikasi terhadap status hukum tanah dan tidak melakukan pengecekan status kawasan hutan (HPT) dan tanah tidak bersengketa," jelasnya.
Di sini terbukti bahwa dokumen lahan itu sengaja dipalsukan seolah-olah benar gunanya mendapatkan untung dari ganti rugi lahan. Maka disimpulkan bahwa mereka bertiga memiliki peran masing-masing dan terlihat jelas melakukan tindak pidana korupsi.
"Lahan yang diganti rugi itu bersengketa dan masuk kawasan hutan sehingga tak dapat dimanfaatkan maka disepakati oleh tiga ahli dan pihak kejaksaan kerugian negaranya total loss sebesar Rp 2,44 miliar," katanya.
Ketiga tersangka dijerat dengan Pasal 2 Ayat 1 dan atau Pasal 3 UU 31 Tipikor Jo Pasal 55 KUHP dengan ancaman maksimal 20 tahun penjara. Kini mereka ditahan dan dititipkan ke sel Mapolres Bintan selama 20 hari.[zbr]