WahanaNews-Bintan | Permasalahan limbah lumpur oli hitam atau sludge oil sampai sekarang masih meresahkan masyarakat Provinsi Kepulauan Riau, khususnya Kabupaten Bintan, Kota Tanjungpinang, Kota Batam.
Tidak ada yang dapat memastikan kapan berakhir limbah tidak bertuan yang mengotori sejumlah kawasan pesisir di Bintan, Batam, dan Tanjungpinang itu.
Baca Juga:
RI Pamerkan Cara Baik Atasi Pencemaran Danau Toba di WWF Bali
Pemerintah daerah sejauh ini berusaha merespons permasalahan tersebut dengan kemampuan dan wewenang yang dimilikinya.
Pemerintah Provinsi Kepri sudah pernah melaporkan permasalahan itu kepada Pemerintah Pusat karena dampak yang ditimbulkan limbah beracun itu tidak hanya terhadap sektor pariwisata, melainkan juga perikanan.
Permasalahan limbah oli ini terjadi sejak tahun 1980-an atau ketika Kepri masih berstatus kabupaten di wilayah administrasi Provinsi Riau.
Baca Juga:
10 Aki Raib dari Truk Sampah DLH Kota Palangka Raya, Kalimantan Tengah
Merespons laporan tersebut, Pemerintah Pusat membentuk tim investigasi dengan melibatkan pemerintah daerah.
Berdasarkan hasil investigasi tim gabungan pusat dan daerah, limbah itu diduga berasal dari kapal-kapal berbendera Singapura.
Limbah itu diduga dipindahkan dari kapal itu ke sejumlah kapal berbendera Indonesia di Perairan Out Port Limited (OPL).
Hasil investigasi hanya berhasil dalam tahap pengungkapan. Setelah itu, setiap musim angin utara di Kepri (Oktober-Februari) limbah lumpur oli kembali mencemari pesisir Bintan dan Batam.
Pada tahun 2021, Tim Penegakan Hukum Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan menangkap pebisnis limbah beracun.
Majelis Hakim Pengadilan Negeri (PN) Batam pada 2 Agustus 2022 memvonis Chosmus Palandi (48) yang merupakan nakhoda Kapal SB Cramoil Equity dijatuhi hukuman penjara 7 tahun 8 bulan.
Ia dinyatakan bersalah karena menyeludupkan limbah bahan berbahaya beracun (B3) asal Singapura ke wilayah Indonesia.
Tahun 2021, tim dari Polda Kepri juga menelusuri limbah lumpur oli itu sampai ke Bintan dan Tanjungpinang. Namun pada saat itu, tim tidak menemukan limbah tersebut karena kawasan tersebut sudah dibersihkan warga dan Dinas Lingkungan Hidup Kepri.
Baru-baru ini, mendekati musim angin utara, persoalan itu muncul kembali setelah Koordinator Masyarakat Anti Korupsi Indonesia (MAKI) Boyamin Saiman mengungkapkan hasil investigasinya di Selat Philips, perbatasan Batam dengan Singapura.
Pada periode Maret – Agustus 2022, Kapal MT. TUT GT.74 berbendera Indonesia labuh jangkar di Perairan Pelabuhan Batu Ampar, dioperasikan oleh salah satu perusahaan di Kota Batam.
Kapal itu diduga mengangkut limbah B3 seberat 5.500 ton dengan dugaan kamuflase dokumen barang tertulis sebagai fuel oil. Kapal itu diduga sebagai tempat penyimpanan limbah dalam kategori sangat berbahaya.
Temuan itu telah dilaporkannya ke Ditjen Penegakan Hukum KLHK. Kemudian ia juga mensinyalir korelasi antara limbah yang berasal dari kapal itu dengan limbah yang mencemari sejumlah kawasan pesisir di Bintan, Tanjungpinang dan Batam, terutama saat musim angin utara.
Bisnis Limbah
Bisnis pengolahan limbah di Batam cukup berkembang. Dinas Lingkungan Hidup Kepri mencatat ada lima perusahaan yang bergerak di bidang pengolahan limbah, namun yang paling besar adalah PT PSST.
Kepala Dinas Lingkungan Hidup Kepri Hendri tidak mengetahui apakah bisnis pembuangan limbah B3 itu ada kaitannya dengan salah satu perusahaan pengelolaan limbah tersebut.
Keterbatasan Pemprov Kepri dalam menangani permasalahan limbah itu menjadi salah satu kendala untuk mengetahui lebih mendalam siapa aktor utamanya.
Beberapa waktu lalu, petugas gabungan yang melakukan patroli laut menggunakan citra satelit untuk memantau pergerakan kapal.
Di dalam citra satelit hanya terlihat limbah yang mencemari laut, namun tidak terlihat kapal yang membuangnya.
Berdasarkan UU Nomor 23 tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah, Pemprov Kepri memiliki kewenangan 0-12 mil dihitung dari bibir pantai, selebihnya menjadi kewenangan Pemerintah Pusat.
Sejauh ini, Pemprov Kepri sudah melaporkan permasalahan yang disampaikan masyarakat tersebut kepada Pemerintah Pusat.
Kemudian Dinas Lingkungan Hidup Kepri juga telah membersihkan lingkungan yang tercemar limbah oli.
Dinas ini juga bekerja sama dengan perusahaan pengolahan limbah, agar limbah tersebut tidak mencemari lingkungan.
Permasalahan penyeludupan limbah B3 dan pembuangan limbah hingga mencemari lingkungan, sebaiknya diselesaikan bersama-sama.
Berbagai institusi yang berwenang bergabung dalam satu tim untuk melakukan upaya pencegahan dan penegakan hukum.
Solusi
Berbagai kajian soal limbah lumpur oli yang dilakukan sejumlah dosen di berbagai kampus di Kepri dapat memberi tambahan informasi pemerintah bahwa pencemaran limbah itu berdampak fatal terhadap habitat laut.
Pencemaran laut akibat limbah oli menyebabkan ekosistem di perairan Kepri, seperti ikan, udang, dan kepiting menjadi terganggu.
Bahkan, berdasarkan hasil penelitian yang disampaikan Kepala Dinas Kelautan dan Perikanan Tengku Said Fadillah, limbah itu dapat mencemari siput.
Siput dapat bertahan hidup setelah tercemar limbah, namun berbahaya bagi kesehatan orang yang mengonsumsinya. Permasalahan pencemaran limbah laut itu mengikuti musim angin utara.
Setelah musim angin selatan, sebentar lagi musim angin utara. Karena limbah itu akan kembali ke Singapura jika dibuang saat musim angin timur atau barat.
Nelayan Bintan, Tanjungpinang, dan Batam kerap melaporkan permasalahan limbah oli yang ditemukan di tengah laut hingga bibir pantai.
Awal tahun 2022, nelayan masih melaporkan hal itu kepada Dinas Kelautan dan Perikanan Kepri. Arif kemudian melanjutkan laporan tersebut kepada Dinas Lingkungan Hidup Kepri.
Permasalahan itu, memang tidak dapat diselesaikan sendiri oleh Pemprov Kepri karena kewenangan terbatas. Oleh karena itu Pemprov Kepri mengajak Pemerintah Pusat yang memang memiliki kewenangan untuk mengatasi permasalahan tersebut.
Apalagi menyangkut masalah tersebut juga berkaitan dengan hubungan antara Indonesia dengan Singapura. Dewan Kehormatan Lembaga Adat Melayu Bintan Rakiman alias Iman Alie berulang kali menemukan limbah oli berserakan di bibir Pantai Trikora, Pantai Senggiling, dan Pantai Lagoi.
Limbah tersebut kenyal dan sulit dihilangkan dari tubuh, kecuali menggunakan minyak tanah. Pada akhir tahun 2021 hingga awal tahun 2022, ia menemukan limbah tersebut, namun dalam jumlah yang sedikit, tidak seperti sebelum pandemi COVID-19.
Tahun ini, limbah itu dikhawatirkan kembali banyak karena aktivitas di perairan Kepri kembali normal seperti sebelum pandemi. Limbah oli hitam memang menjadi permasalahan serius di kawasan pariwisata Bintan.
Namun, permasalahan limbah tidak dapat diselesaikan Pemkab Bintan karena tidak memiliki kewenangan mengelola laut.
Ketua Komisi II DPRD Bintan Zulkifli minta pemerintah serius membicarakan penanganan permasalahan itu sampai ke akar-akarnya sehingga tidak ada lagi orang yang berani membuang limbah di tengah laut Kepri.
Pemerintah Indonesia sebaiknya membangun komunikasi dengan Pemerintah Singapura untuk membahas permasalahan tersebut berdasarkan temuan atau fakta-fakta di lapangan.
Hubungan yang baik antara Pemerintah Indonesia dengan Singapura akan lebih mudah menyelesaikan permasalahan itu dari hulu ke hilir.[zbr]