WahanaNews-Bintan | Kejaksaan Negeri (Kejari) Bintan sedang menyelidiki kasus dugaan korupsi pengadaan lahan Tempat Pembuangan Akhir (TPA) sampah di Tanjunguban telah ditingkatkan sejak 6 April 2022.
Kejari Bintan sedang mencari bukti-bukti untuk menyeret sederet pejabat yang menerima aliran dana pengadaan lahan TPA yang merugikan negara senilai Rp 2,44 miliar itu.
Baca Juga:
Mahkamah Konstitusi Terima 206 Permohonan Sengketa Pilkada Kabupaten hingga Provinsi
Kasi Pidana Khusus (Kasipidsus) Kejari Bintan, Fajrian Yustiardi mengatakan, pasca libur lebaran pihaknya langsung bekerja dan langsung memanggil 2 orang untuk dimintai keterangan.
Mereka adalah pemilik lahan, Supriatna dan penjual (broker), Ari Syafdiansyah.
"Mereka berdua kita mintai keterangan. Pertama diperiksa adalah Supriatna dan kedua Ari," ujar Fajrian, kemarin.
Baca Juga:
ASDP Gandeng Bank Indonesia Perkuat Distribusi Uang Rupiah hingga ke Pelosok Negeri
Pemilik lahan, Supriatna mengakui jika pihak keluarganya telah menerima uang dari hasil penjualan lahan.
Uang itu dibagikan kepada 7 orang atau ahli waris termasuk dirinya.
Kemudian juga diberikan ke Ari Syafdiansyah.
Namun Supriatna tidak mau mengakui besaran dana yang dia terima.
Begitu juga berapa besar uang yang diterima Ari Syafdiansyah beserta pejabat-pejabat dalam pengadaan lahan TPA Tanjunguban Selatan itu.
"Supriatna mengaku tidak mengetahui secara pasti besaran harga pembelian lahan miliki keluarganya yang dibayarkan pemerintah," jelasnya.
Meskipun sempat tidak mengakui, jaksa terus mendesak.
Namun keterangan yang diberikan Supriatna selalu berubah-ubah.
Terakhir Supriatna mengaku menerima uang sebesar Rp 1,6 miliar dari total pembebasan lahan Rp 2,44 miliar.
Untuk sisanya Rp 800 juta lebih dia tidak tau alirannya kemana saja.
Kemudian dari Rp 1,6 miliar itu, kata Fajrian, untuk 5 orang keluarganya masing-masing mendapatkan Rp 30 juta.
Lalu untuk ibunya yang kini sudah almarhumah Rp 300 juta sehingga total untuk 6 orang tersebut sebesar Rp 450 juta.
Sementara sisanya Rp 1,15 miliar itu dipegang oleh Ari Syafdiansyah bersama dirinya.
"Jadi ini yang lagi kita dalami. Kita lagi cari bukti aliran dana ke pejabat Bintan. Karena pengakuan Supriatna untuk sisa uangnya sama Ari Syafdiansyah," katanya.
Selain kedua orang ini, jaksa juga memeriksa 18 orang lainnya.
Kemudian berkoordinasi dengan Badan Pemeriksaan Keuangan dan Pembangunan (BPKP) Provinsi Kepri untuk mengetahui secara pasti total kerugian negara dari pembebasan lahan TPA tersebut.
"Kasus ini akan terus berjalan dan secepatnya kita tetapkan tersangkanya," ucap Fajrian.
Diberitakan sebelumnya, Kasus korupsi pengadaan lahan TPA Tanjunguban Selatan, Kecamatan Bintan Utara yang dilakukan Dinas Perkim Bintan dengan APBD 2018 Rp 2.440.100.000 ditingkatkan prosesnya oleh Kejari Bintan dari penyelidikan ke penyidikan.
Untuk saksi yang diperiksa berasal dari Dinas PU, Dinas Perkim, BPN, Camat Bintan Utara, Lurah Tanjunguban Selatan, kehutanan dan pihak lainnya yang terkait seperti pemilik sporadik dan lainnya.
Fakta yang ditemukan adalah pengadaan lahan seluas 20.000 atau 2 Ha untuk TPA yang berlokasi di Jalan Tanjungpermai Arah Pasar Baru RT 12/RW 02, Tanjunguban Selatan, Kecamatan Bintan Utara. Surat lahan yang dibebaskan itu dengan dasar sporadik dengan nomor 10/kts/2017/ tertanggal 26 April 2017 atas nama Ari Syafdiansyah.
Kemudian terdapat SK Bupati Bintan Nomor 282/IV/2018 tentang pembentukan panitia pelaksanaan pengadaan tanah skala kecil (pengadaan tanah di bawah 5 Ha) untuk pembangunan TPA pada 19 April 2018.
"Ada beberapa orang yang masuk dalam tim pengadaan lahan TPA itu," jelasnya.
Dalam pengadaan lahan tersebut ditemukan penyelewengan diantaranya dalam lahan yang dibebaskan melalui APBD 2018 Rp 2.440.100.000 seluas 2 Ha itu ternyata ada Kawasan Hutan Produksi Terbatas (HPT) seluas 5.711 meter persegi (M²).
Lalu terdapat tumpang tindih pada lahan yang diganti rugi seluas 2 Ha tersebut.
Yaitu di dalam lahan yang diganti rugi terdapat lahan milik orang lain diantaranya lahan milik Maria dengan SHM Nomor 390 tahun 1997, lahan milik Suzzana dengan SHM Nomor 196 tahun 1997, lahan milik Thomas dengan SHM Nomor 406 tahun 1997, dan SKT Nomor 32 tahun 1995 atas nama Chaidir.
"Dengan fakta ini telah melanggar Pasal 2 dan Pasal 3 UU Nomor 31 Tahun 1999 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan UU Nomor 20 Tahun 2001 Tentang Perubahan atas UU Nomor 31 Tahun 1999," katanya.
Dengan fakta itu dinaikan kasus tersebut ke penyidikan dengan diterbitkannya Sprindik Nomor print-01/L.10.15/fd.2/04/2022 tertanggal 6 April 2022.
Sementara untuk kerugian negaranya dihitung total los sesuai besaran pengeluaran yaitu sebesar Rp 2.440.100.000. Karena lahan secara keseluruhan tersebut tak dapat dimanfaatkan.
"Lahan yang diganti rugi sampai saat ini tidak dapat dimanfaatkan untuk umum. Sebab selain masuk Kawasan HPT juga tumpang tindih," sebutnya. [rda]