WahanaNews-Natuna | Destructive Fishing Watch (DFW) mencatat bahwa sekitar setengah dari aktivitas pencurian ikan di kawasan perairan nasional terjadi di Laut Natuna Utara dan kapal ikan milik Vietnam yang paling sering melakukan aktivitas.
"50,6 persen lokasi penangkapan kapal pencuri ikan tersebut terjadi di laut Natuna dan dilakukan oleh kapal ikan berbendera Vietnam," kata Koordinator Nasional DFW Indonesia Moh Abdi Suhufan dalam keterangan tertulis di Jakarta, Rabu.
Baca Juga:
Mahkamah Konstitusi Terima 206 Permohonan Sengketa Pilkada Kabupaten hingga Provinsi
Ia mengemukakan bahwa ada kurang lebih 400 orang ABK kapal ikan asing ikut terlibat dalam kegiatan perikanan ilegal. Mereka merupakan warga negara Vietnam, Filipina, Malaysia, Myanmar, Taiwan, dan Indonesia.
"Ironisnya 18 orang ABK kapal pencuri ikan tersebut adalah warga negara Indonesia karena ikut bekerja di atas kapal," kata Abdi.
Pihaknya menganalisis bahwa banyaknya kapal ikan asing yang melakukan praktik perikanan ilegal di laut Indonesia disebabkan postur dan kapasitas pengawasan perikanan yang dimiliki Indonesia belum berubah.
Baca Juga:
ASDP Gandeng Bank Indonesia Perkuat Distribusi Uang Rupiah hingga ke Pelosok Negeri
"Hari layar kapal pengawas perikanan tahun lalu hanya 100 hari per tahun sehingga tidak mampu merespon banyaknya pengaduan yang disampaikan oleh nelayan lokal atas maraknya kapal asing di Natuna," kata Abdi.
Ia mengusulkan biaya operasional dan hari layar kapal pengawas KKP bisa ditingkatkan dari 100 hari per tahun.
Sistem radar, lanjutnya, sebenarnya sudah mendeteksi keberadaan kapal ikan ilegal yang memasuki perairan Indonesia, namun kemampuan melakukan penangkapan di lapangan dinilai terbatas jika kemampuan operasi hanya 100 hari.
Ia mengingatkan pula bahwa selain menjadi lokasi penangkapan ikan ilegal oleh kapal ikan asing, kapal ikan dan nelayan Indonesia juga kerap melakukan pelanggaran dengan melakukan penangkapan ikan di wilayah laut negara tetangga seperti Malaysia, Papua Nugini, dan Australia.
Peneliti DFW Indonesia, Muhamad Arifudin mengungkapkan ada 84 orang nelayan dan ABK Indonesia tertangkap dan ditahan otoritas Malaysia, Papua Nugini dan Australia sepanjang tahun 2021.
Mereka, ujar Arif, ditahan karena melakukan pelanggaran dengan melakukan aktivitas penangkapan ikan tanpa izin di wilayah laut negara tersebut. Untuk itu, Indonesia dinilai perlu menyusun program strategis yang sifatnya lintas sektor untuk mengatasi praktik penangkapan ikan ilegal di Indonesia.
Berdasarkan catatan DFW Indonesia, otoritas penjaga laut Indonesia yang terdiri dari PSDKP Kementerian Kelautan dan Perikanan, TNI Angkatan laut, Badan Keamanan Laut dan Polisi Air dan Udara sepanjang tahun 2021 melakukan penangkapan 75 kapal ikan asing yang melakukan kegiatan perikanan ilegal di laut Indonesia.
Kapal ikan asing tersebut terdiri dari kapal berbendera Vietnam 39 kapal, Malaysia 27 kapal, Filipina 6 kapal, Taiwan 1 kapal dan kapal tanpa bendera 2 kapal. Jumlah kapal yang melakukan pelanggaran kemungkinan bisa lebih banyak karena terdapat beberapa kapal yang berhasil melarikan diri ketika akan ditangkap.
Sebelumnya, Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) membentuk tim unit reaksi cepat guna meningkatkan pengawasan terintegrasi di sektor kelautan dan perikanan nasional pada tahun 2022 ini.
Direktur Jenderal Pengawasan Sumber Daya Kelautan dan Perikanan, Laksamana Muda TNI Adin Nurawaluddin memaparkan, Unit Reaksi Cepat PSDKP akan sigap melakukan respon terhadap dugaan pelanggaran sektor kelautan perikanan.
Selain itu, ujar dia, Unit Reaksi Cepat ini didukung dengan speedboat terbaru yang memiliki kecepatan mencapai 55 knot. [rda]