WahanaNews-Natuna | Pada tahun 2015 lalu, China secara resmi mengakui jika pulau Natuna merupakan milik Indonesia seutuhnya.
Dari artikel terbitan thepaper.cn pada 12 November 2015 lalu, lewat artikel berjudul "Indonesia mengatakan dapat mengajukan gugatan dengan Cina atas sengketa Kepulauan Natuna di Laut China Selatan, China: pulau itu milikmu," media China menyebut jika Natuna adalah milik Indonesia.
Baca Juga:
Inovasi Crowdsourcing Maritim di Tengah Konflik Natuna
"Menurut situs Kementerian Luar Negeri China, juru bicara Kementerian Luar Negeri Hong Lei mengatakan pada konferensi pers reguler pada tanggal 12 bahwa Indonesia tidak memiliki klaim teritorial atas Kepulauan Nansha China. Kedaulatan Kepulauan Natuna adalah milik Indonesia, dan China belum menyatakan keberatan.
Pada konferensi pers reguler Kementerian Luar Negeri hari ini, seorang reporter bertanya: Menteri Koordinator Keamanan Indonesia mengatakan bahwa jika tidak dapat menyelesaikan perselisihan dengan China di perairan Kepulauan Natuna di Laut China Selatan, Indonesia dapat menggunakan jalur Internasional Pengadilan Tipikor untuk menyelesaikannya.
Apakah China memperhatikan laporan yang relevan? Apa tanggapan untuk ini?
Baca Juga:
Peran Penting Indonesia dalam Menangani Konflik Laut China Selatan (LCS)
Hong Lei menjawab: Indonesia tidak memiliki klaim teritorial atas Kepulauan Nansha China.
Kedaulatan Kepulauan Natuna adalah milik Indonesia, dan China belum menyatakan keberatan," tulis thepaper.cn dalam artikelnya.
Meski mengakui Natuna kini merupakan milik Indonesia, China rupanya sempat kebakaran jenggot kala perselisihannya dengan Indonesia soal Laut China Selatan (LCS) dibawa-bawa ke PBB.
"Indonesia telah melakukan sedikit trik tentang masalah Laut Cina Selatan.
Misi tetap Indonesia untuk PBB mengirim surat kepada Sekretaris Jenderal PBB Antonio Guterres pada bulan Mei, mengingatkan PBB bahwa klaim China di Laut China Selatan tidak memiliki dasar hukum internasional dan sama saja dengan pelanggaran Konvensi PBB 1982 tentang Hukum laut (UNCLOS).
Indonesia mengklaim bahwa sengketa Laut China Selatan harus diselesaikan sesuai dengan UNCLOS 1982," tulis media China Global Times dalam artikelnya terbitan 4 Agustus 2020.
Bak jilat ludah sendiri dengan menyebut jika Indonesia main trik soal laut Natuna Utara alias Luat China Selatan, Tiongkok rupanya lakukan taktik dengan kirim surat ke PBB.
Nine-Dash Line, garis yang digambar oleh pemerintah Republik Rakyat Tiongkok meliputi klaim wilayahnya di Laut China Selatan.
Nine Dash Line meliputi Kepulauan Paracel (diduduki Tiongkok namun diklaim oleh Vietnam dan Taiwan) dan Kepulauan Spratly yang dipersengketakan dengan Filipina, Tiongkok, Brunei, Malaysia, Taiwan dan Vietnam.
Keseluruhan negara tersebut mengklaim seluruh atau sebagian Kepulauan Spratly yang diyakini kaya akan sumber daya alam.
Garis-garis putus ini muncul di peta Dinasti Qing dari Zaman Kekaisaran Tiongkok dan menimbulkan polemik soal tumpang tindih kekuasaan di daerah sekitarnya, termasuk Indonesia.
Indonesia menolak tawaran Tiongkok untuk negoisasi perairan Laut China Selatan alias Laut Natuna Utara.
Sebelumnya pada Selasa, 2 Juni 2020, pemerintah Tiongkok mengirim surat kepada Sekretaris Jenderal PBB António Guterres yang mengakui tidak ada klaim tumpang tindih dengan wilayah Indonesia, tetapi bersengketa soal hak-hak perairan Laut China Selatan.
Munculnya surat Tiongkok tersebut sebagai tanggapan atas surat yang telah dikirim Indonesia ke PBB pada 26 Mei 2020.
Di surat itu, Indonesia menolak peta nine dash line atau sembilan garis putus-putus Tiongkok yang mengklaim hampir semua jalur perairan Laut China Selatan.
"Berdasarkan UNCLOS tahun 1982, Indonesia tidak memiliki klaim yang tumpang tindih dengan Tiongkok, sehingga tidak relevan untuk mengadakan dialog tentang penetapan batas-batas laut," kata Damos Dumoli Agusman selaku Direktur Jenderal Hukum internasional dan Perjanjian, Kementerian Luar Negeri Indonesia pada Jumat, 5 Juni 2020, seperti dikutip dari Radio Free Asia.
Damos merujuk pada pernyataan Kemenlu RI pada 2020 yang menegaskan tidak ada sengketa wilayah dengan Tiongkok di Laut China Selatan berdasarkan pernjanjian Konvensi PBB tentang Hukum Laut (UNCLOS) tahun 1982.
"Dinyatakan bahwa kami menolak (negosiasi apa pun)" kata dia.
Sementara dalam surat Tiongkok ke PBB berpendapat bahwa Laut China Selatan ditetapkan sebagai perairan bersejarah.
"Tidak ada sengketa wilayah antara Tiongkok dan Indonesia di Laut China Selatan. Namun, Tiongkok dan Indonesia memiliki klaim yang tumpang tindih tentang hak dan kepentingan maritim di beberapa bagian Laut Cina Selatan," tulis surat Tiongkok kepada Sekjen PBB.
"Tiongkok bersedia menyelesaikan klaim yang tumpang tindih melalui negosiasi dan konsultasi dengan Indonesia, dan bekerja sama dengan Indonesia untuk menjaga perdamaian dan stabilitas di Laut China Selatan," tambah surat tersebut.
Indonesia bersikeras menegaskan menolak klaim sepihak Tiongkok yang tidak memiliki dasar dalam hukum internasional.
"Indonesia menegaskan bahwa peta garis nine dash line yang menyiratkan klaim hak historis jelas tidak memiliki dasar hukum internasional dan sama saja dengan mengecewakan UNCLOS 1982,” tulis surat Indonesia.
Pihak Kemenlu RI mengatakan surat itu digunakan untuk menolak sembilan garis putus-putus yang telah melewati garis ZEE Indonesia.
Meski negaranya blak-blakan mengakui Natuna bagian dari NKRI, siapa sangka, media China rupanya tak menyetujuinya.
Dari artikel terbitan Sohu.com, yang menyoroti pernyataan Juru Bicara Kementerian Luar Negeri Hong Lei yang menyebut Kedaulatan Kepulauan Natuna adalah milik Indonesia, dan China belum menyatakan keberatan.
"Pertanyaan dan jawaban ini cukup membingungkan.
Kedaulatan teritorial adalah kepentingan inti negara mana pun.
Jika tidak ada sengketa kedaulatan Kepulauan Natuna, bukankah Menko Keamanan RI akan berinisiatif untuk berbagi dengan orang lain, dan membuat topik persaingan? dengan orang lain? Ini jelas tidak masuk akal.
Namun, kesediaan Hong Lei untuk mengakui bahwa kedaulatan Kepulauan Natuna adalah milik Indonesia semakin menggelitik ketika Indonesia telah mengakui adanya sengketa," tulis Sohucom.
Menurut media Tiongkok, China pernah mengusulkan untuk mengadakan pembicaraan dengan Indonesia untuk demarkasi garis batas laut bersama antara kedua belah pihak, tetapi Indonesia tidak percaya bahwa ada masalah batas laut dengan China.
"Menurut informasi, meskipun peta sembilan garis putus-putus mencakup zona ekonomi eksklusif Indonesia di perairan Kepulauan Natuna, dilaporkan bahwa dalam interaksi diplomatik pribadi, China telah berulang kali meyakinkan Jakarta bahwa pihaknya mengakui komitmen Indonesia terhadap kedaulatan Kepulauan Natuna.
Hal ini tampaknya ditafsirkan sebagai berikut: Natuna adalah hak Indonesia, tetapi juga fakta bahwa perairan itu dipersengketakan.
Karena wilayah lautnya merupakan daerah penangkapan ikan tradisional China," tuli Sohucom.
Tak hanya itu, media berbahasa mandarin itu juga menuding jika pemerintahnya sengaja menutup mata terhadap klaim Natuna.
"Sebelum Hong Lei, alasan mengapa China enggan mengakui di depan umum bahwa kedaulatan Kepulauan Natuna adalah milik Indonesia, bahkan Indonesia telah mengeksploitasi gas alam di zona ekonomi eksklusif di mana sembilan garis putus-putus China tumpang tindih selama bertahun-tahun.
Cina juga Hanya menutup mata, mungkin karena pertimbangan diplomatik," tulis media China tersebut.
Menurut Sohucom, situasi di Laut Cina Selatan sangat rumit, dan ada faktor AS di belakangnya.
"Pernyataan Hong Lei dapat dikatakan benar-benar di luar dugaan masyarakat Tiongkok.
Pertama, secara terbuka mengakui bahwa kedaulatan Kepulauan Natuna adalah milik Indonesia.
Kedua, pernyataan ini sebagai tanggapan atas pernyataan pihak Indonesia bahwa 'jika kita tidak bisa menyelesaikan masalah Natuna di Laut Cina Selatan melalui dialog,' katanya.
Masalah sengketa di perairan Kepulauan Tuna, pernyataan Indonesia sangat jelas, meski Hong Lei tidak menjelaskan isi sengketa maritim tersebut, namun dalam konteks khusus ini, tidak diragukan lagi sama saja dengan mengakui bahwa sembilan garis putus-putus China dan Kepulauan Natuna ditinggalkan.
Zona ekonomi eksklusif memiliki posisi yang tumpang tindih," lanjut Sohucom.[zbr]