WahanaNews-Natuna | Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) membuat kebijakan penangkapan ikan terukur di wilayah laut Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) namun ditolak oleh Nelayan Natuna karena merugikan nelayan lokal khususnya terkait kuota tangkap dan zonasi tangkap untuk nelayan dan industri, Senin (17/1/2022).
"Sikap kami nelayan Natuna tegas, menolak 100 persen kebijakan itu. Kebijakan itu tidak berpihak sama sekali kepada nelayan Natuna," tegas Koordinator Nelayan Natuna, Bahrullazi di tempat kerjanya, Senin (17/1/2022) melalui telepon.
Baca Juga:
Melayani Sebagai Ungkapan Syukur, Sosok Inspiratif Linus L. Daeli dari Gereja Trinitas Paroki Cengkareng
Diketahui kebijakan penangkapan terukur merupakan salah satu dari tiga program terobosan KKP dari tahun 2021-2024.
Tujuannya untuk mewujudkan ekonomi biru (blue economy) di sektor kelautan dan perikanan.
Kebijakan ini dilakukan untuk memastikan keseimbangan antara ekologi, ekonomi dan keberlanjutan sumber daya perikanan.
Baca Juga:
Sambut Masa Tenang Pilkada Jakarta, KPU Jakbar Gelar Panggung Hiburan Rakyat
Harapannya sumber daya perikanan tak dieksploitasi tanpa memerhatikan siklus hidup perikanan dan keberlangsungannya.
Penangkapan terukur akan mengacu pada hitungan Komite Nasional Pengkajian Sumber Daya Ikan (Komnas Kajiskan) yang dilakukan secara berkala per dua tahun menurut Komnas Kajiskan total jumlah tangkapan yang diperbolehkan (JTB) adalah 9,45 juta ton per tahun dengan nilai produksi mencapai Rp 229,3 triliun.
Untuk area penangkapan ikan di Wilayah Pengelolaan Perikanan (WPP) Indonesia dibagi menjadi tiga zona.
Yakni zona fishing industri, zona nelayan lokal dan zona spawning dan nursery ground (zona pemijahan dan perkembangbiakan ikan). Dari zona-zona tersebut KKP bakal menetapkan kuota penangkapannya.
Kuota penangkapan terdiri dari kuota industri, kuota nelayan lokal, dan kuota untuk rekreasi maupun hobi.
Untuk nelayan lokal dengan kapal di bawah 30 GT (gross ton), wilayah penangkapan hanya sampai 12 mil sedangkan di atas 12 mil merupakan zona untuk penangkapan industri.
Bahrullazi menilai, kebijakan penangkapan ikan terukur itu sangat membatasi perkembangan ekonomi nelayan Natuna karena jumlah ikan yang boleh ditangkap sangat terbatas.
"Kami sangat dirugikan karena setelah kami hitung-hitung peresentase yang sudah ditetapkan, nelayan Natuna hanya boleh menangkap ikan sebanyak 2 kilo 8 ons saja dalam sehari. Itu sangat tidak masuk akal, bagaimanan nelayan mau sejahtera," ujarnya.
Bahrul meminta kepada pemerintah pusat agar dapat menganulir kebijakan tersebut. Sehingga nelayan dapat leluasa meningkatkan pendapatan dan kesejahterannya.
Selain itu, ia juga meminta agar wilayah 50 mil ke bawah dapat dikosongkan dari kapal-kapal besar dan canggih.
Sehingga nelayan kecil dapat peluang penghasilan yang banyak.
"Kalau tuntutan dan harapan kami ini tidak juga dipenuhi, maka lebih baik kumpulin saja kami nelayan Natuna di sebuah pulau, terus lemparin bom. Ketimbang kami dibunuh dengan cara pelan-pelan seperti ini," ujarnya.
Namun begitu, ia mengaku Nelayan Natuna akan terus berjuang agar aturan-aturan yang diterapkan pemerintah dapat berpihak kepada mereka.
"Tapi nanti Jumat (21/1/2022) kami akan ketemu lagi dengan dewan dan pada hari Senin (24/1/2022) depan DPRD akan menggelar paripurna membahas persoalan ini. Mudah-mudahan ada perubahannya," harap Bahrullazi. [rda]