WahanaNews-Natuna | Program Manager Indonesia Ocean Justice Initiative (IOJI) Jeremia Humolong Prasetya meminta pemerintah mempercepat rencana patroli nasional di wilayah-wilayah rawan keamanan laut menyusul masih tingginya aksi Illegal, Unreported, and Unregulated (IUU) Fishing.
Rekomendasi itu berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 13/2022 tentang Penyelenggaraan Keamanan, Keselamatan, dan Penegakan Hukum di Wilayah Perairan dan Wilayah Yurisdiksi Indonesia.
Baca Juga:
4.000 Prajurit TNI Kena Sanksi Akibat Terlibat Judi Online
"Pemerintah perlu mempercepat penerbitan rencana patroli nasional yang memfokuskan di wilayah-wilayah rawan keamanan laut seperti Laut Natuna Utara dan Laut Arafura," katanya dalam konferensi pers daring di Jakarta, dikutip Antara, kemarin.
IOJI juga meminta pemerintah agar bisa mengevaluasi penyelenggaraan penegakan hukum di laut saat ini, terutama terkait pelanggaran khususnya di Laut Natuna Utara dan Laut Arafura, baik itu yang dilakukan oleh kapal ikan asing maupun kapal ikan Indonesia.
"Pemerintah juga perlu menyiap siagakan kapal-kapal patroli termasuk sarana dan prasarana pendukungnya di Laut Natuna Utara," kata Jeremia.
Baca Juga:
Kepala Zona Bakamla Tengah Laksanakan Courtesy Call ke Mapolda Sulsel
IOJI melaporkan temuan soal terdeteksinya 42 kapal ikan asing (KIA) Vietnam di perairan Indonesia, khususnya Laut Natuna Utara (non-sengketa), pada Juni 2022 berdasarkan hasil pengecekan citra satelit.
Selain kapal ikan asing Vietnam, IOJI juga mendeteksi Vietnam Fisheries Resources Surveillance (VFRS) atau kapal patroli Vietnam yang berjaga di sepanjang garis batas landas kontinen (LK).
Selama Juni-Juli 2022, IOJI mendeteksi setidaknya terdapat tiga kapal patroli yang bergerak dari Pelabuhan Vung Tau, Vietnam.
Dalam beberapa kesempatan, kapal-kapal patroli ini masuk ke ZEE Indonesia sejauh 7-10 mil laut dari garis landas kontinen, tidak jauh dari pusat intrusi KIA Vietnam di ZEE Indonesia non-sengketa.
Paban II Ops Staf Operasi TNI Angkatan Laut (Sopsal) Kolonel Laut (P) Amrin Rosihan Hendrotomo mengungkapkan kapal pengawas perikanan Vietnam memang cukup intens mengawasi kapal-kapal ikan mereka di wilayah perbatasan, di mana mereka kedapatan melewati batas penangkapan ikan.
"Bahkan rata-rata ada empat sampai delapan kapal setiap harinya. Hebatnya mereka, saya katakan hebat, karena mereka mampu melaksanakan operasi atau berada di sana sepanjang tahun karena mereka memiliki sistem logistik yang baik," katanya.
Menurut Amrin, kapal pengawas Vietnam punya dukungan logistik yang baik karena tidak hanya mendukung perbekalan tetapi juga bahan bakar kapal sehingga bisa bertahan di perairan sepanjang tahun.
Direktur Operasi Laut Badan Keamanan Laut (Bakamla) Laksamana Pertama Bakamla Bambang Irawan menjelaskan perlunya peran serta semua pemangku kepentingan untuk bisa menyelesaikan masalah di laut secara optimal.
Ia mengakui Bakamla sendiri memiliki keterbatasan anggaran dan sarana serta prasarana yang terbatas. Namun, hal itu tidak berarti kegiatan patroli dan dukungan untuk kegiatan patroli tidak bisa dilakukan.
"Keperluan kita menghadirkan simbol-simbol negara. Simbol negara kan salah satunya bendera merah putih. Tidak hanya di kapal TNI AL, Bakamla, PSDKP (Pengawasan Sumber Daya Kelautan dan Perikanan) KKP, semua stakeholder harus dirumuskan kehadirannya," katanya.
Bambang menuturkan kapal patroli Vietnam bisa bertahan lama di perairan karena dukungan fasilitas logistik dari platform bekas rig (anjungan pengeboran sumur minyak).
"Bagaimana dengan kita? Bakamla, TNI AL, PSDKP, itu patroli sampai 200 mil laut. Berapa hari di sana? Berangkat saja sudah dua hari, pulang dua hari, kemampuan kapal patroli hanya tujuh hari. Artinya hanya tiga hari berada di sana. Lalu kembali, isi bahan bakar. Maka, kalau mau melaksanakan dukungan secara nasional, perlu dirumuskan bersama," ungkap Bambang.[zbr]