WahanaNews-Natuna | Lautan di Kabupaten Natuna Kepulauan Riau dikenal sebagai sumber ikan di Kawasan berbatasan dengan Zona Ekonomi Eksklusif Indonesia (ZEEI) di Laut China Selatan, sehingga tidak heran banyak kapal nelayan asing kesasar hingga ke wilayah teritorial perairan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI).
Masyarakat lokal Natuna banyak yang menjadi Nelayan sebagai pekerjaan utama negeri berjuluk laut sakti rantau bertuah.
Baca Juga:
680 Liter Pertalite Diamankan, Sat Reskrim Polres Subulussalam Tangkap Seorang Pria Diduga Lakukan Penyalahgunaan BBM
Bermacam ragam sarana yang digunakan para nelayan, Ada yang menggunakan sampan atau perahu untuk tangkapan kecil, ada pula yang menggunakan pompong atau kapal kecil bermotor serta Bagan untuk tangkapan yang lebih banyak, Rata-rata penangkapan ikan dilakukan pada malam hari hingga subuh menjelang.
Ketika senja temaran di langit sore, sayup sayup terdengar suara lengkingan bersumber dari knalpot perahu nelayan lokal, warga disana menyebutnya “Pompong” Atau kapal Bagan telah di rancang berbadan lebar dengan kawat seling dipasang untuk menyanggah sisi kanan dan kiri kapal Bagan. Ini sebuah perahu modifikasi yang telah di rancang untuk mencari ikan di laut menggunakan jaringan kelambu pada bagan kapal.
Rupanya dari pelantar Pering sudah berjejer rapi puluhan pompong serta bagan dimana para nelayan baru saja usai melaut.
Baca Juga:
Pertamina Patra Niaga Tindak Tegas SPBU Nakal
Untuk sampai ditempat tujuan, harus menempuh perjalanan sekitar dua kilometer dari kota Ranai dengan menyusuri jalan yang di kiri kananya terhampar pohon mangrove.
Perjalananku kali ini cukup menyenangkan, setelah sekian tahun tidak pernah menyambangi Pelantar Pering yang sebagian besar Nelayan menggantungkan hidupnya di laut.
Kini, dengan memanfaatkan musim libur karena cengkraman corona virus yang kini kian melandai, saya meluangkan waktu untuk menghirup udara sore di Pelantar Penagi.
Selama perjalanan, saya bisa melihat burung-burung yang terbang menari-nari di udara, seakan ingin mengatakan bahwa hidup di Kepulauan, sesama makhluk ilahi kita bisa berbagi tempat untuk hidup.
Sesampainya di pelantar Pering terlihat beberapa nelayan, ada yang sedang mendorong perahu ke laut, ada yang membawa peralatan penangkapan, ibu-ibu menenteng makanan untuk suaminya yang akan berlayar, dan bahkan ada yang sedang membersihkan jaring.
Perahu nelayan berderet yang ditambatkan di dalam air berjoget karena ayunan ombak, beberapa di antaranya terikat kuat di atas dermaga yang diikatkan pada salah satu tiang beton.
Setelah kuparkirkan motor, saya melangkah mendekati beberapa perahu nelayan sambil mengabadikan moment dengan mengambil gambar menggunakan handphone.
Setelah terasa cukup beberapa jebretan momen menarik memberanikan diri melangkah menuju ke salah satu perahu yang tidak jauh dari tempatku berdiri.
Seorang nelayan bernama Hasbi, sedang sibuk membersihkan jaring di bagannya. Melihat kedatanganku ia tidak merasa terusik.
Tangannya terus menari-nari menarik jaring, sambil menarik ikan-ikan kecil yang nyangkut di jaring kelambu bagan, lalu dibuangnya di genangan air samping bagan.
Saya mencoba mendekatkan jarak duduk dibadan bagan dan membuka pembicaraan. Melihat saya mendekat ia tersenyum tipis, tanpa ada gestur mencurigakan.
Setelah mengajaknya ngobrol dengan diawali beberapa pertanyaan, tentang kehidupannya sebagai seorang nelayan.
Dengan tenang ia menjawab setiap pertanyaan yang diajukan, sambil tangannya tetap terus menarik jaring dimasukkan ke dalam karung.
Kelihatan tangannya sangat cekatan membersihkan jaring. Tangan yang sudah tidak semulus dan seputih kala ia pertama kali mengenal dunia, tangan yang memberi kehidupan bagi kelangsungan hidup keluarganya, dan tangan yang mengukir kisah perjalanan hidupnya menjadi seorang yang berani menghadang ombak di tengah lautan.
“Ya, inilah aktifitas menjadi seorang nelayan kalau belum berlayar menangkap ikan, kita bersihkan jaring, memperbaiki perahu, dan memastikan semuanya baik-baik saya,” jawab Asbi.
Hidup menjadi seorang nelayan adalah pilihan yang diambilnya sejak ia belum masuk di usia remaja, ia membangun keberanian sejak kecil, dimana kebanyakan teman seusianya ketika itu hanya berani bermain pasir bibir pantai.
Ayahnya menjadi pengatur irama hidupnya di masa itu, ia sering diajak untuk bersahabat dengan udara dingin di malam hari, ketika menjaring ikan di tengah laut.
Di tengah laut, Ia bisa menyaksikan bintang-bintang yang bertebaran di langit, cahaya dari kejauhan ikut disapu oleh pandangan-Nya.
Pengalamannya waktu itu menjadikan lembaran demi lembaran hidupnya penuh dengan tinta yang mengharu biru tentang dirinya dan laut.
Hasbi, (33) begitu ia biasa dipanggil oleh masyarakat Nelayan Bagan merupakan anak muda berani.
Dengan pengalaman serta pengetahuan navigasi melaut, lantas Dia diberikan kepercayaan kepada pemilik kapal bagan untuk menggerakkan kapal bagan atau orang Natuna menyebutnya sebagai Tekong kapal atau bahasa umumnya sebagai kapten kapal.
Dalam penuturannya bahwa Ia salah satu nelayan terbilang masih muda percaya rezeki terbesar adalah di lautan.
Baginya menjadi nelayan merupakan sesuatu pilihan yang menyenangkan, bukan karena terpaksa, bukan karena dipaksa, bukan karena hasilnya cukup menjanjikan untuk kehidupan keluarga dan juga bukan karena pernah mendengar lagu nenek moyangku seorang pelaut di layar kaca namun ini semua dia lakukan agar ada generasi penerus di lautan.
Dirinya juga mengeluh sulitnya mendapatkan kuota Bahan bakar Minyak jenis solar, ketika waktu hendak pergi melaut ada saja tantangan tersendiri dalam pengurusan surat kuota yang diberikan pemerintah daerah hanya berlaku satu bulan.
Di akhir perbincangan singkat Asbi satu dari sekian ratus nelayan menaruhkan harapan akan mengeluhkan nelayan sulitnya soal minyak subsidi yang mereka peroleh untuk melaut.
Betapa tidak, dalam sekali berlayar menggunakan kapal Bagan dirinya harus menyiapkan 2 Ton minyak dalam satu putaran artinya tiap melaut selama 22 hari. Dan dalam sehari menghabiskan BBM 100 Liter.
“Itu pun kalau sebanding dengan pengeluaran sekali berlayar, jika peruntungan datang karena dia harus mengeluarkan cost baik dari minyak hingga ransum kapal mencapai 20 Juta,” tutup Asbi.
Hasil laut jika beruntung dia tetap berbagi dengan pemilik kapal bagan serta para ABK bekerja di Kapal.
Solar Sulit didapatkan
Tak hanya itu, ekonomi biaya tinggi juga terjadi akibat polemik bahan bakar minyak sebagai penggerak utama sarana tangkap para nelayan. Baru-baru ini, kelangkaan solar yang terjadi turut berdampak pada nelayan. Untuk mendapatkan solar, mereka harus mengantre cukup panjang di SPBU terdekat.
Namun, tidak semua nelayan mendapatkan jatah solar bersubsidi karena terganjal persyaratan dokumen. Akibatnya, mereka harus membeli solar eceran dengan harga yang lebih tinggi. Praktis, biaya operasional mereka pun kian besar. Padahal, BBM menjadi bagian vital dari aktivitas melaut dan biayanya mencapai 40 persen dari total biaya operasional.
Persoalan pun kini menimpa nelayan dimana Kelangkaan solar subsidi membuat nelayan di sejumlah daerah tidak bisa melaut.
Ketua Himpunan Nelayan Seluruh Indonesia (HNSI) Kabupaten Natuna, Hendri mengaku mendapatkan laporan bahwa nelayan di Natuna tidak bisa melaut karena kelangkaan solar.
Apalagi, kondisi ini sebetulnya sudah dialami sekitar 3 bulan ini. “Meski sebenarnya bagi nelayan kecil nyaris sepanjang tahun mereka tidak bisa mengakses solar bersubsidi, membeli harga solar lebih mahal di eceran,” kata Hendri, pekan lalu, di Natuna.
Ia menuturkan ada dua faktor yang menyebabkan nelayan sulit mengakses solar subsidi. Pertama, nelayan kecil sulit mendapat surat rekomendasi dari dinas, karena administrasi yang tidak cukup. Kedua, infrastruktur SPBUN yang sedikit serta kuota yang tidak cukup.
Jadi sebagian besar nelayan kecil beli BBM di eceran dengan harga yang lebih tinggi. Padahal, biaya BBM itu sekitar 70 persen dari total biaya melaut,” jelasnya.
Menurutnya, PT Pertamina (Persero) perlu memberikan inovasi pelayanan distribusi langsung mendekati kampung nelayan semacam mobile SPBUN sehingga nelayan semakin mudah mendapatkan akses solar.
“Ratusan perahu nelayan hanya bisa sandar di pelabuhan, dan tak dapat beroperasi. “Kalau kelangkaan solar sudah dirasakan nelayan sejak bulan Maret, dan sampai sekarang masih sulit,” ujar Ketua Aliansi Nelayan Natuna, Henri.
Para nelayan hanya mendapatkan jatah solar sebanyak 30 liter per hari. Menurut Henri kalau hanya mendapatkan jatah solar 30 liter per hari, maka hanya bisa digunakan untuk melaut selama enam jam saja.
Henri menambahkan, langkanya solar ini membuat nelayan kehilangan penghasilan. Biasanya, para nelayan ini bisa mendapatkan penghasilan satu ton ikan, sekarang mereka tak dapat melaut dan harus kerja serabutan.
Sementara itu Kepala Dinas Kelautan dan Perikanan (DKP) Natuna melalui Kabid pengelolaan Perikanan Tangkap DKP Natuna, Wan Mansur beberapa waktu lalu.
Mansur mengatakan, pemerintah sudah lama membantu nelayan di Natuna dengan memberikan solar bersubsidi dengan catatan nelayan sudah memegang Tanda daftar Kapal Perikanan (TDKP).
Pemberian ini diatur dalam Undang-Undang Badan Pengatur Hilir Minyak dan Gas Bumi RI Nomor 17 Tahun 2019. Serta perkuat dengan peraturan presiden Republik Indonesia nomor 191 Tahun 2014.
Ia menjelaskan, solar bersubsidi untuk nelayan kecil memiliki kapal ukuran 1-10 GT. Yang kedua memiliki surat rekomendasi BBM dari dinas perikanan/camat.
Untuk pompong berukuran kecil diberikan subsidi penuh yang boleh dibeli solar bersubsidi di SPBU, berdasarkan rekomendasi di berikan, nelayan hanya bisa mengambil kuota maksimum tujuh hari di SPBU yang ditujukan dinas perikanan.
“Pompong hingga 2 hingga 5 GT paling banyak di Natuna,” ujarnya.
Dikatakan, untuk boat 1 hingga 10 GT diberikan solar bersubsidi berdasarkan surat rekomendasi BBM dari dinas perikanan. Untuk mendapatkan rekomendasi tersebut harus memiliki dari Tanda daftar Kapal Perikanan (TDKP) terlebih dahulu.
Berdasarkan surat Tanda daftar Kapal Perikanan (TDKP) itu, yang diterbitkan Capdis Kelautan Perikanan Provinsi Kepri menerbitkan rekomendasi kepada nelayan.
Solar bersubsidi untuk nelayan, kata Wan Mansur Solar bersubsidi untuk nelayan dilayani melalui dua SPBU untuk bunguran Timur dan timur laut SPBU Coco ranai dan SPBUN Bintang utara mandiri Sepempang.[zbr]