WahanaNews-Natuna | Jauh sebelum Indonesia mengganti nama Laut China Selatan jadi Laut Natuna Utara untuk menandai wilayah perairan NKRI pada tahun 2017 lalu, Tiongkok dan NKRI sudah sejak lama berkonflik soal Natuna.
China yang berulang kali menyebut Natuna dulunya merupakan wilayah kekaisaran Tiongkok mundur teratur dan tak mengklaim Natuna Indonesia sebagai bagian dari wilayahnya pada 2015 lalu.
Baca Juga:
Panglima TNI Kunjungi Kepala Staf Pertahanan Itali
Pada tahun 2015 lalu, China secara resmi mengakui jika Pulau Natuna merupakan milik Indonesia seutuhnya.
Hal ini seperti dikutip Zonajakarta dari artikel terbitan thepaper.cn pada 12 November 2015 lalu, lewat artikel berjudul "Indonesia mengatakan dapat mengajukan gugatan dengan China atas sengketa Kepulauan Natuna di Laut Cina Selatan, Cina: Pulau itu milikmu," media China menyebut jika Natuna adalah milik Indonesia.
"Menurut situs Kementerian Luar Negeri China, juru bicara Kementerian Luar Negeri Hong Lei mengatakan pada konferensi pers reguler pada tanggal 12 bahwa Indonesia tidak memiliki klaim teritorial atas Kepulauan Nansha China.
Baca Juga:
Rakor Log TNI Digelar Sebagai Media Komunikasi Antar Staf Logistik
Kedaulatan Kepulauan Natuna adalah milik Indonesia, dan China belum menyatakan keberatan.
Pada konferensi pers reguler Kementerian Luar Negeri hari ini, seorang reporter bertanya: Menteri Koordinator Keamanan Indonesia mengatakan bahwa jika tidak dapat menyelesaikan perselisihan dengan China di perairan Kepulauan Natuna di Laut China Selatan, Indonesia dapat menggunakan jalur Internasional Pengadilan Tipikor untuk menyelesaikannya.
Apakah China memperhatikan laporan yang relevan? Apa tanggapan untuk ini?.
Hong Lei menjawab: Indonesia tidak memiliki klaim teritorial atas Kepulauan Nansha China.
Kedaulatan Kepulauan Natuna adalah milik Indonesia, dan China belum menyatakan keberatan," tulis Thepaper dalam artikelnya.
Indonesia bahkan langsung mengambil langkah tekad 2 tahun setelahnya, di 2017.
Indonesia mengambil langkah berani pada tahun 2017 lalu dengan mengganti nama zona ekonomi eksklusif di bagian utara Kepulauan Natuna menjadi Laut Natuna Utara, beberapa di antaranya berada dalam sembilan garis putus-putus yang diklaim oleh China, yang dianggap sebagai niat untuk menantang Klaim kedaulatan Tiongkok di Laut Cina Selatan.
Media China, 163 dalam artikelnya terbitan 12 September 2019 merasa heran dengan langkah Indonesia yang mengganti nama Laut China Selatan.
"Indonesia baru-baru ini mengganti nama zona ekonomi eksklusif yang terletak di bagian Laut Cina Selatan sebagai 'Laut Natuna Utara'.
Langkah berani Indonesia itu bahkan dianggap berbanding terbalik dengan negara-negara lain yang mulai tunduk pada China.
"Sikap Indonesia yang berkembang di kawasan itu termasuk rencana untuk membangun persenjataannya di Kepulauan Natuna yang bertetangga dan mengerahkan kapal perang angkatan laut datang ketika klaim teritorial luas negara-negara lain terhadap China di Laut China Selatan berubah menjadi lebih tunduk," tulis 163.
"Terkait penamaan Laut Natuna Utara, Menteri Kelautan dan Perikanan RI Susi Pudjiastuti mengatakan bahwa Indonesia berhak mengambil keputusan ini.
Laut Natuna Utara terletak di dalam wilayah Indonesia, bukan terletak di Laut Cina Selatan, Indonesia berhak mengganti nama perairan ini, Laut Natuna Utara menjadi bahasa Indonesia.
Sebagai tanggapan, juru bicara Kementerian Luar Negeri China Geng Shuang menanggapi pada 14 Juli: Saya tidak memiliki situasi spesifik yang Anda sebutkan.
Tapi yang ingin saya tekankan adalah, sejak lama, Laut China Selatan, termasuk nama tempat standar bahasa Inggrisnya Laut China Selatan, telah digunakan sebagai nama entitas geografis internasional, cakupan geografisnya jelas, dan sudah lama digunakan, diakui dan diterima secara luas oleh masyarakat internasional, termasuk PBB.
Perubahan nama yang disebut tidak ada artinya dan tidak kondusif bagi upaya standarisasi nama geografis internasional.
Diharapkan negara-negara terkait akan bertemu dengan China di tengah jalan dan bersama-sama mempertahankan situasi baik yang diperoleh dengan susah payah dalam situasi Laut China Selatan saat ini," tulis 163.
Meski China mundur teratur dan tak mengklaim pulau Natuna sebagai bagian dari wilayahnya lagi, namun aksi kapal selam nuklir Tiongkok sempat membuat geger Indonesia di tahun 2016.
"Menurut laporan situs Metro TV Indonesia pada tanggal 25, armada Armada Laut China Selatan PLA melewati Selat Malaka pada tanggal 25. Formasi tersebut termasuk kapal selam nuklir serang 409, fregat berpemandu rudal Yuncheng dan sekoci penyelamat laut 'Pulau Yongxing', tulis media berbahasa mandarin tersebut.
Alih-alih meminta maaf karena kehebohan yang dibuat kapal selam negaranya, media China justru ngeyel membela diri atas kelakuan armada tempurnya di selat Malaka.
"Zhang Junshe, peneliti di Institut Akademi Militer Angkatan Laut, juga mengatakan dalam wawancara dengan media bahwa perairan Banda Aceh berada di pintu masuk barat Selat Malaka, selat teritorial yang digunakan untuk navigasi internasional, dan kapal semua negara, termasuk kapal militer, dapat menggunakan hak transit.
Zhang Junshe mengatakan bahwa perairan Banda Aceh sangat jauh dari Kepulauan Natuna, dan itu murni hubungan yang berlebihan untuk menghubungkan jalur normal formasi Cina melalui Selat Malaka dan penangkapan baru-baru ini atas kapal penangkap ikan Cina oleh angkatan laut Indonesia dekat Kepulauan Natuna," tulis Xinhuanet dalam artikelnya.[zbr]