KEPRI.WAHANANEWS.CO, Jakarta - Rancangan Undang-Undang (RUU) Daerah Kepulauan disahkan menjadi undang-undang. Kehadiran undang-undang ini akan bermanfaat bagi provinsi-provinsi kepulauan termasuk Provinsi Kepulauan Riau (Kepri).
Pengesahan Undang-Undang Daerah Kepulauan tidak terlepas dari peran para senator asal Kepri. Satu di antaranya adalah Dwi Ajeng Sekar Respaty. Wanita senantor ini memastikan dirinya berkomitmen memperjuangkan pengesahan undang-undang tersebut.
Baca Juga:
Kemensos Tugaskan 19 Guru, Sekolah Rakyat Tanjungpinang Siap Terima 100 Siswa Kurang Mampu
Sekar menegaskan sikapnya itu pasca Rapat Koordinasi Nasional Akselerasi Pembahasan RUU Tentang Daerah Kepulauan Dalam Prolegnas Prioritas Tahun 2025 di Gedung Nusantara V, Komplek MPR/DPR/DPD RI, Jakarta, Selasa (2/12) siang.
Komitmen Sekar ini bukan tanpa alasan. Dia menilai, Undang-Undang Daerah Kepulauan sangat penting bagi provinsi-provinsi kepulauan. Sebab, dengan undang-undang tersebut, provinsi-provinsi dengan banyak pulau memiliki kewenangan untuk mengatur hak dan kewenangannya sendiri.
Menurut Sekar, beberapa kebijakan pemerintah pusat tidak relevan dan mempertimbangkan kepentingan daerah-daerah kepulauan. Dia mencontohkan, kebijakan fiskal yang selama ini dipengaruhi oleh luas daratan dan jumlah penduduk. Kebijakan tersebut semestinya tidak berlaku di seluruh daerah sebab sebagian daerah memiliki perairan yang lebih luas dari daratan seperti Kepulauan Riau.
Baca Juga:
Pelestarian Budaya Pada Rangkaian Nyepi Hindu di Lagoi Melalui Foto Story
“Indonesia merupakan negara kepulauan. Oleh karena itu, kebijakan negara seharunya mempertimbangkan kondisi daerah kepulauan. Nah, target dari undang-undang ini adalah kebijakan untuk mempercepat daerah kepulauan maju dan sejahtera,” terang Sekar.
Sekar berpendapat ketiadaan “lex specialis” (undang-undang khusus) bagi daerah kepulauan telah menimbulkan ketimpangan struktural antara daerah daratan dan kepulauan, baik dari aspek fiskal, pelayanan publik, maupun akses infrastruktur. Hasil kajian dalam Naskah Akademik Rancangan Undang-Undang Daerah Kepulauan (Komite I DPD RI, 2017) menyatakan provinsi berciri kepulauan antara lain Maluku, Maluku Utara, Nusa Tenggara Timur, Sulawesi Tenggara dan Kepulauan Riau menghadapi keterbatasan serius dalam pembiayaan pembangunan akibat karakter geografis dan biaya logistik yang tinggi.
Naskah akademik itu berisikan kapasitas fiskal daerah berciri kepulauan sangat terbatas dan tidak proporsional dibandingkan dengan luas wilayah laut dan tanggung jawab pelayanan publik yang mereka emban. Struktur pendapatan daerah kepulauan didominasi oleh dana transfer dari pusat, terutama Dana Alokasi Umum (DAU) dan Dana Alokasi Khusus (DAK). Sementara kontribusi Pendapatan Asli Daerah (PAD) relatif kecil karena aktivitas ekonomi tersebar di pulau-pulau kecil dengan biaya administrasi dan transportasi tinggi. Kondisi tersebut pula menyebabkan ketergantungan fiskal yang kronis terhadap pemerintah pusat serta menimbulkan kesenjangan fiskal yang signifikan antara daerah daratan dan kepulauan.
Naskah akademik juga menunjukkan formula alokasi fiskal nasional tidak mempertimbangkan karakter geografis kepulauan, terutama faktor jarak, transportasi laut dan biaya logistik antar-pulau. Dalam praktiknya, rumus DAU dan DAK yang berlaku saat ini belum mencakup geographic cost index yang menggambarkan biaya pelayanan publik di wilayah kepulauan. Akibatnya, daerah kepulauan harus menanggung biaya lebih tinggi untuk pendidikan, kesehatan maupun transportasi masyarakat, tanpa adanya tambahan dana kompensasi yang memadai.
Sekar memisalkan, mengirim guru atau tenaga kesehatan ke pulau-pulau kecil dibutuhkan biaya transportasi laut dan insentif tambahan yang signifikan. Selain itu, dalam sektor pendidikan, angka partisipasi sekolah di provinsi kepulauan semisal Maluku dan Nusa Tenggara Timur masih tertinggal dibandingkan rata-rata nasional karena akses fisik ke sekolah yang sulit.
“Keterbatasan infrastruktur dasar yakni persentase rumah tangga dengan sanitasi layak, sumber air minum layak dan akses listrik di daerah kepulauan berada di bawah 60 persen. Kondisi ini jauh tertinggal dari wilayah perkotaan di daratan,” jelas Sekar.
Selain itu, asimetri pelayanan publik juga terjadi akibat formula alokasi fiskal nasional yang tidak mempertimbangkan faktor geografis kepulauan. Hal ini membuat daerah-daerah kepulauan kesulitan membiayai transportasi pelayanan publik antarpulau, termasuk operasional kapal perintis dan distribusi logistik kebutuhan dasar.
Ketimpangan ini berdampak pada indeks pembangunan manusia (IPM) yang rendah dan ketergantungan tinggi terhadap bantuan pemerintah pusat. Ketimpangan juga diperparah oleh terbatasnya kapasitas investasi daerah karena rendahnya PAD dan lemahnya daya tarik ekonomi akibat infrastruktur dasar yang minim.
Sebagai solusi, naskah akademik mengusulkan pembentukan Dana Khusus Kepulauan (DKK) sebagai instrumen afirmatif fiskal yang bersifat “block grant”. Dana ini diusulkan bersumber dari pagu Dana Transfer Umum (DTU) dengan formula berbasis geografis, mencakup jumlah pulau berpenghuni, panjang garis pantai, jarak antar-pulau dan rasio biaya logistik terhadap PDRB daerah.
“DKK diharapkan menjadi mekanisme korektif untuk menutup ketimpangan fiskal antara daratan dan kepulauan, sekaligus mendukung penyelenggaraan layanan dasar seperti transportasi laut perintis, pendidikan dan kesehatan antarpulau,” tegas wanita senator asal Provinsi Kepri itu.
RUU Daerah Kepulauan kembali diajukan dalam Prolegnas Prioritas Tahun 2025 sesuai dengan Surat DPD RI Nomor B/HM.03/2283/DPDRI/IX/2025 tanggal 8 September 2025 tentang Penyampaian RUU Prioritas DPD RI Tahun 2025 bersama dengan empat RUU Prolegnas Prioritas Tahun 2025 yang menjadi usul DPD RI lainnya yaitu Rancangan Undang-Undang Perlindungan Masyarakat Adat, Rancangan Undang-Undang Pengelolaan Perubahan Iklim, Rancangan Undang-Undang Perubahan Keempat Atas UU Nomor 23 Tahun 2014 Tentang Pemerintah Daerah.
Kemudian melalui Surat DPD RI Nomor B/HM.03/2472/DPDRI/IX/2025 tanggal 30 September 2025 tentang Penyampaian RUU Prioritas DPD RI Tahun 2025, DPD RI menugaskan alat kelengkapan DPD RI untuk membahas RUU Prolegnas Prioritas Tahun 2025 bersama DPR RI dan Pemerintah.
Menindaklanjuti hal tersebut kemudian DPR RI, melalui surat Nomor T/16730/LG.03.01/11/2025, tanggal 12 November 2025 perihal Penyampaian RUU Usul DPD RI menyampaikan 1 (satu) RUU usul DPD RI yaitu RUU tentang Daerah Kepulauan kepada Presiden, untuk dibahas bersama Presiden, DPR RI, dan DPD RI dalam sidang bersama.
[REDAKTUR: FRENGKY]