WahanaNews-Kepri | Kementerian Luar Negeri (Kemlu) RI buka suara terkait kapal penjaga pantai (coast guard) terbesar China, CCG 5901, yang telah wara-wiri di zona ekonomi eksklusif (ZEE) Indonesia. Kapal itu dilaporkan berada di Laut Natuna Utara sejak akhir Desember 2022 lalu.
Juru bicara Kemlu RI, Teuku Faizasyah, menyebut sah-sah saja jika ada kapal asing melintas perairan internasional bedasarkan Konvensi Hukum Kelautan Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) atau UNCLOS. Ia mengatakan tidak ada masalah.
Baca Juga:
Ini Penjelasan Tetangga Kos Wanita yang Diduga Dibunuh Dikamar Kos di Kota Jambi
"Seperti statement Kepala Staf TNI Angkatan Laut yang sebutkan banyak kapal yang melintas di ZEE Indonesia dan semuanya dibenarkan menurut UNCLOS," kata Teuku seperti dilansir dari CNBC Indonesia, Selasa (17/1/2023).
"(Tidak dipermasalahkan kapal asing wara-wiri) toh juga dijamin UNCLOS hak tersebut," tambahnya.
Menurut Teuku, keberadaan kapal China di ZEE dalam rangka freedom of navigation. Ini, tegasnya, juga dijamin mana UNCLOS 1982.
Baca Juga:
PUPR Tuntaskan Pembangunan Jalan Teluk Buton-Klarik di Natuna
"Sesuai dengan UNCLOS 1982, Indonesia tidak memiliki overlapping claims di wilayah ZEE dengan China," imbuhnya.
Sebelumnya TNI Angkatan Laut (AL) sempat mengerahkan kapal perang ke Laut Natuna Utara setelah melihat peningkatan aktivitas kapal patroli China di kawasan yang penuh dengan sumber daya di kawasan maritim itu. Kepala Staf Angkatan Laut Laksamana Muhammad Ali mengatakan telah mengirimkannya bersama pesawat patroli maritim, dan drone untuk memantau aktivitas kapal patroli China itu.
"Kapal China itu tidak melakukan aktivitas yang mencurigakan," kata Ali seperti dilansir Reuters, akhir pekan lalu.
"Namun perlu kita pantau karena sudah lama berada di zona ekonomi eksklusif (ZEE) Indonesia," tambahnya.
Keberadaan kapal China tercatat di data pelacakan kapal Marine Traffic, sebagaiman dikutip dari Radio Free Asia (RFA), di awal Januari. Namun media itu sempat menyebut, keberadaannya mungkin terkait ladang gas, Blok Tuna.
Diketahui sebelumnya, pemerintah RI telah menyetujui rencana pengembangan atau Plan of Development (POD) Pertama Lapangan Tuna di Wilayah Kerja (WK) atau Blok Tuna, perairan Natuna, ke perusahaan Inggris Premier Oil. Perkiraan biaya investasi untuk pengembangan Lapangan Tuna (di luar sunk cost) diperkirakan mencapai US$ 1,05 miliar.
Dengan masa produksi yang diperkirakan sampai 2035, maka pemerintah akan mendapatkan pendapatan kotor sebesar US$ 1,24 miliar atau setara dengan Rp 18,4 triliun. Sementara pendapatan kotor dari kontraktor atau produsen sebesar US$ 773 juta atau setara dengan Rp 11,4 triliun dengan biaya cost recovery mencapai US$ 3,315 miliar.[ss]