WahanaNews.co | Menteri Agama Yaqut Cholil Qoumas genap setahun memimpin Kementerian Agama pada 23 Desember 2021. Setelah dilantik, di pundak Yaqut tersemat beban berat untuk mentransformasi Kementerian Agama ke arah yang lebih baik dan menjadi rumah bagi semua agama yang diakui di Indonesia, serta menjadi regulator dalam pembangunan sumber daya manusia di bidang keagamaan.
Ada enam program prioritas yang dicanangkan Yaqut, yaitu Penguatan Moderasi Beragama, Revitalisasi KUA, Transformasi Digital, Cyber Islamic University, Religiosity Index, dan Kemandirian Pesantren, termasuk di dalamnya soal kekerasan seksual di institusi pendidikan keagamaan.
Baca Juga:
Kalimantan Selatan Tuan Rumah, Ini Arti dan Makna Logo Resmi HPN 2025
Dari enam program prioritas itu, moderasi beragama dan kekerasan seksual di lingkungan pendidikan keagamaan menjadi pekerjaan terbesar yang harus dituntaskan Kementerian Agama di bawah kepemimpinan Yaqut.
Moderasi Beragama
Badan Litbang dan Diklat Kemenag RI meluncurkan buku "Dinamika Moderasi Beragama di Indonesia". Buku ini disusun untuk merespons fenomena kelompok aliran atau organisasi keagamaan yang semakin eksklusif dan tidak ramah terhadap kelompok lain di luarnya.
Baca Juga:
Pemkab Dairi Siap Dukung Gugus Tugas Polri Sukseskan Ketahanan Pangan
Kondisi tersebut tidak terjadi secara natural, tetapi melalui proses indoktrinasi yang intens dari kelompok tertentu untuk kepentingan tertentu. Fenomena seperti ini jika dibiarkan bergerak liar akan menjadi ancaman serius.
Bahkan yang terbaru ada tiga kejadian yang mencederai kerukunan antarumat beragama saat pelaksanaan Natal. Umat Kristiani di tiga wilayah yakni Tulang Bawang Lampung, Jambi, dan Lakarsantri Surabaya mendapat perlakuan yang tak mengenakkan akibat masalah yang tak terselesaikan.
Mantan Menteri Agama Lukman Hakim Saifuddin mengatakan setidaknya ada tiga tantangan yang harus dihadapi dalam proses penguatan moderasi beragama. Pertama, berkembangnya pemahaman dan pengamalan keagamaan yang berlebihan, melampaui batas, dan ekstrem, sehingga malah bertolak belakang dengan esensi ajaran agama.
Menteri Agama Yaqut Cholil Qoumas genap setahun memimpin Kementerian Agama pada 23 Desember 2021 selepas pencopotan Fachrul Razi oleh Presiden Joko Widodo pada 23 September 2020.
Setelah dilantik pada 23 Desember 2020, di pundak Yaqut tersemat beban berat untuk mentransformasi Kementerian Agama ke arah yang lebih baik dan menjadi rumah bagi semua agama yang diakui di Indonesia, serta menjadi regulator dalam pembangunan sumber daya manusia di bidang keagamaan.
Ada enam program prioritas yang dicanangkan Yaqut, yaitu Penguatan Moderasi Beragama, Revitalisasi KUA, Transformasi Digital, Cyber Islamic University, Religiosity Index, dan Kemandirian Pesantren, termasuk di dalamnya soal kekerasan seksual di institusi pendidikan keagamaan.
Dari enam program prioritas itu, moderasi beragama dan kekerasan seksual di lingkungan pendidikan keagamaan menjadi pekerjaan terbesar yang harus dituntaskan Kementerian Agama di bawah kepemimpinan Yaqut.
Moderasi Beragama
Badan Litbang dan Diklat Kemenag RI meluncurkan buku "Dinamika Moderasi Beragama di Indonesia". Buku ini disusun untuk merespons fenomena kelompok aliran atau organisasi keagamaan yang semakin eksklusif dan tidak ramah terhadap kelompok lain di luarnya.
Kondisi tersebut tidak terjadi secara natural, tetapi melalui proses indoktrinasi yang intens dari kelompok tertentu untuk kepentingan tertentu. Fenomena seperti ini jika dibiarkan bergerak liar akan menjadi ancaman serius.
Bahkan yang terbaru ada tiga kejadian yang mencederai kerukunan antarumat beragama saat pelaksanaan Natal. Umat Kristiani di tiga wilayah yakni Tulang Bawang Lampung, Jambi, dan Lakarsantri Surabaya mendapat perlakuan yang tak mengenakkan akibat masalah yang tak terselesaikan.
Mantan Menteri Agama Lukman Hakim Saifuddin mengatakan setidaknya ada tiga tantangan yang harus dihadapi dalam proses penguatan moderasi beragama. Pertama, berkembangnya pemahaman dan pengamalan keagamaan yang berlebihan, melampaui batas, dan ekstrem, sehingga malah bertolak belakang dengan esensi ajaran agama.
Namun ada tantangan tersendiri dalam penguatan moderasi beragama. Bakal muncul kekhawatiran akan polarisasi di masyarakat yang justru dapat mempertajam konflik yang terjadi dengan pelabelan "moderat" dan "tidak moderat". Jika akhirnya muncul pelabelan itu, maka moderasi beragama telah gagal menjalankan tugasnya.
Kekerasan Seksual
Pada pertengahan Desember ini publik digegerkan dengan terungkapnya kasus pemerkosaan serta kekerasan seksual yang dilakukan Herry Wirawan, seorang guru sekaligus pemilik pesantren di Kota Bandung, Jawa Barat.
Ia diketahui telah memperkosa 12 santrinya --ada yang melaporkan jumlahnya lebih banyak--. Sebagiannya bahkan telah memiliki anak hasil perlakuan bejat dan tak termaafkan Herry Wirawan. Herry diketahui telah melakukan pemerkosaan itu sejak 2016.
Tak berhenti di situ saja, Herry bahkan mengeksploitasi korban serta anak dari para korban untuk meraih keuntungan pribadi. Para santri dipaksa untuk bekerja menjadi kuli, sementara anak dari korban dieksploitasi untuk penggalangan dana.
Terungkapnya kelakuan tak termaafkan Herry menjadi gerbang dalam mengungkap kasus-kasus lain. Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) melaporkan terdapat 18 kasus kekerasan seksual di lingkungan pendidikan selama 2021.
Angka itu merupakan data yang terungkap, sementara diduga masih banyak kasus-kasus lain yang tak terekspose ke permukaan. Dari 18 kasus yang terungkap justru didominasi terjadi di lingkungan pendidikan keagamaan, sebanyak 14 kasus atau 77,78 persen.
Kementerian Agama merespons temuan-temuan itu dengan mengambil sejumlah langkah untuk mencegah dan mengungkap kasus kekerasan seksual di lingkungan pendidikan keagamaan.
Menag Yaqut mengatakan langkah pertama dengan melakukan investigasi di semua satuan pendidikan, mulai dari tingkat madrasah hingga perguruan tinggi keagamaan.
"Saya sudah memerintahkan kepada jajaran untuk melakukan investigasi kepada sekolah-sekolah seperti ini, 'boarding-boarding' ini, yang kita sinyalir terjadi pelanggaran serupa, kekerasan seksual, pelecehan seksual, dan seterusnya," ujar dia.
Langkah kedua, menjalin kerja sama dengan Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI), aparat kepolisian, dan pihak terkait lainnya dalam penanganan masalah kekerasan dan pelecehan seksual, termasuk dalam proses investigasi.
Ia mengaku khawatir kasus pelecehan seksual yang belakangan mencuat di lembaga pendidikan merupakan fenomena gunung es yang selama ini tak terungkap akibat berbagai faktor.
Langkah terakhir, Kemenag akan memperbaiki prosedur pemberian izin operasional lembaga pendidikan keagamaan.
Menag Yaqut menggarisbawahi pentingnya pengetatan pelaksanaan verifikasi dan validasi sebelum menerbitkan rekomendasi.
"Jadi tidak boleh rekomendasi yang muncul dari Kementerian Agama itu hanya berupa kertas. Rekomendasi harus didasarkan pada hasil verifikasi dan validasi lapangan. Jadi petugasnya harus datang melihat, menyaksikan, baru mengeluarkan rekomendasi izin," kata dia.
Di satu sisi, Kementerian Agama juga mendorong siswa maupun mahasiswa untuk tidak takut melapor jika menjadi korban kekerasan seksual di lingkungan pendidikan keagamaan. Kemenag akan memberi pendampingan dan perlindungan hukum bagi para korban demi menjerat para pelaku.
Patut untuk ditunggu sejauh mana implementasi kebijakan yang digulirkan Kementerian Agama dalam meredam polarisasi pemikiran serta mengungkap kasus-kasus kekerasan seksual yang mencoreng muka lembaga.
[kaf]