WahanaNews-Kepri | Sistem outsourcing (OS) selalu ditentang oleh aktivis serikat pekerja. Karena serikat pekerja melihat banyak kerugian yang dialami oleh pekerja mulai dari proses penerimaan pekerja, saat bekerja hingga masa pengakhirannya seperti PHK dan masalah nilai pesangon.
Namun lebih dari itu, sistem outsourcing di PLN justru berpotensi besar merugikan masyarakat sebagai pelanggan.
Baca Juga:
Pertumbuhan Tinggi, Dirjen ESDM: Masalah Over Supply Listrik di Jawa-Bali Akan Teratasi
Ini juga sebagai bukti bahwa pelayanan publik di PLN Bekasi sangat buruk.
Salah satu pekerjaan pekerja OS di PLN adalah proses penggantian kWh meter karena rusak.
Dimulai dengan petugas Pelayanan Teknik (Yantek) yang juga berstatus OS atau alih daya mengganti meteran yang ada setelah dipastikan rusak dengan meteran pasca bayar pengganti sementara atau dummy atas dasar laporan dari pelanggan.
Baca Juga:
Percepat NZE 2060, PLN Indonesia Power Perkuat Ekosistem Hidrogen dari Hulu ke Hilir
Masalah dimulai ketika pelanggan harus menunggu untuk penggantian meteran yang baru.
Karena penggantian meteran yang baru adalah pekerjaan untuk vendor OS yang lain sehingga petugas Yantek hanya meninggalkan surat Berita Acara (BA) sembari menjanjikan kalau meteran yang baru akan di ganti sekitar satu atau dua pekan kemudian.
Namun pada kenyataannya di masyarakat banyak yang harus menunggu hingga waktu yang tidak menentu bahkan ada yang hingga berbulan-bulan.
Semakin lama proses penggantian maka akan semakin menumpuk energy listrik/kwh yang harus dibayar selama menggunakan meteran dummy.
Dampak yang merugikan adalah masyarakat yang terbiasa membeli pulsa menjadi terganggu pengendalian pengeluarannya karena tiba-tiba harus membayar listrik akibat tumpukan kWh tersebut disertai harus membeli pulsa kalau sisa kWh yang lama tidak langsung diganti juga.
Tidak jarang pelanggan mengalami masalah tidak bisa membeli token listrik di mana pun akibat diblokir sepihak oleh PLN karena dianggap belum melunasi pemakaian selama menggunakan meteran dummy.
Selain itu dengan sistem meteran dummy menjadikan terdapat tiga kali bongkar pasang meteran.
Hal ini berakibat pada rusaknya dinding tempat meteran saat pembongkaran meteran.
Dimensi tiap meteran yang berbeda semakin merusak dinding tempat meteran belum lagi kalau harus bergeser posisi karena sudah tidak bisa di tempat yang sebelumnya terkadang membuat estetika rumah semakin jelek karena tampak semrawut akibat harus menambah sambungan kabel yang kurang juga berpotensi membahayakan penghuni rumah.
Tidak jarang juga surat BA sebagai bukti pekerjaan PLN hilang atau lupa penyimpanannya.
Dampak buruknya adalah pelanggan bisa dicurigai memakai energi listrik secara tidak resmi yang kemudian bisa berujung didenda oleh petugas penertiban PLN (P2TL) yang juga berstatus alih daya.
Sebagai bukti pelayanan publik yang berintegritas PLN wajib mencegah timbulnya masalah yang berdampak merugikan masyarakat seperti ini.
Seharusnya PLN memiliki stok meteran berdasarkan data jumlah gangguan/masalah dengan melalui petugas Yantek yang kemudian langsung mengganti meteran yang rusak. Apalagi meteran prabayar/pulsa bertanda garansi 5 tahun diketahui berkualitas buruk dan gampang rusak.
Sebagai contoh masyarakat Bekasi yang didominasi oleh pekerja yang tidak mungkin setiap siang jam kerja harus berada di rumah menunggu petugas PLN.
Pun demikian dengan petani, pedagang, nelayan atau buruh lepas lainnya yang harus meninggalkan rumah untuk mencari rezeki sebagaimana umumnya masyarakat di daerah-daerah.
Permasalahan ini timbul tidak lepas dari sistem tenaga outsourcing yang ada. Perusahaan vendor yang hanya mencari untung tidak peduli dengan kualitas pelayanan dan pekerjaan harus membebani pekerja.
Semakin diperburuk dengan proses rekrutmen yang tidak professional dan pekerja tidak mendapatkan pendidikan atau pengetahuan untuk tertib administrasi.
Vendor OS yang memaksa diri menerima pekerjaan dengan target kerja yang tidak masuk akal dari pihak pemberi kerja berakibat memaksa pekerjanya memenuhi target tersebut tanpa mengerti hak pelanggan.
Bahkan pekerja yang tidak memiliki serikat pekerja takut untuk menyampaikan haknya sebagai pekerja untuk dapat bekerja dengan baik melayani masyarakat bahkan harus membuat laporan hasil kerja yang tidak sesuai dengan kondisi yang sebenarnya.
Hal ini adalah sebagian kecil bukti buruknya praktek outsourcing pelayanan publik di PLN yang menjadikan BUMN menjadi contoh buruk tentang ketenagakerjaan yang terus dipermasalahkan oleh aktivis serikat pekerja.
Hingga kini FSPMI masih terus memperjuangkan penghapusan sistem outsourcing yang pernah melalui proses hingga ke Komisi IX DPR RI sejak tahun 2012.[zbr]