Lalu Ari dan Supriatna bersepakat untuk mengurus tanah tersebut ke pihak pemerintah agar diterbitkan surat sporadik. Akhirnya diterbitkanlah sporadik dengan nomor 10/kts/2017 tertanggal 26 April 2017 atas nama Ari.
Nyatanya surat sporadik yang terbit itu lokasinya tidak sama dengan lokasi yang menjadi dasar penerbitan surat tersebut. Kemudian lokasi sporadik yang baru itu tumpang tindih dan overlap di atas 3 bidang tanah milik orang lain yang telah bersertifikat.
Baca Juga:
Polisi Ungkap Motif Ivan Sugianto Paksa Siswa SMA Sujud-Menggongong
Yaitu lahan milik Thomas dengan SHM Nomor 406 tahun 1997, lahan milik Maria dengan SHM Nomor 390 tahun 1997, dan lahan milik Suzzana dengan SHM Nomor 196 tahun 1997. Kemudian juga Kawasan Hutan Produksi Terbatas (HPT) seluas 5.711 m2.
"Setelah itu ditetapkan panitia perencanaan persiapan dan pelaksanaan dalam pengadaan lahan. Tetapi dalam pelaksanaannya masing-masing panitia tidak melakukan tugas dan tanggung jawabnya antara lain tidak adanya dokumen perencanaan pengadaan tanah (DPPT). Lalu tidak dilakukannya pendataan awal lokasi rencana pembangunan tidak melakukan verifikasi terhadap status hukum tanah dan tidak melakukan pengecekan status kawasan hutan (HPT) dan tanah tidak bersengketa," jelasnya.
Di sini terbukti bahwa dokumen lahan itu sengaja dipalsukan seolah-olah benar gunanya mendapatkan untung dari ganti rugi lahan. Maka disimpulkan bahwa mereka bertiga memiliki peran masing-masing dan terlihat jelas melakukan tindak pidana korupsi.
Baca Juga:
Sempat Kaget Waktu Ditangkap, Kejagung Jebloskan Ronald Tannur ke Rutan
"Lahan yang diganti rugi itu bersengketa dan masuk kawasan hutan sehingga tak dapat dimanfaatkan maka disepakati oleh tiga ahli dan pihak kejaksaan kerugian negaranya total loss sebesar Rp 2,44 miliar," katanya.
Ketiga tersangka dijerat dengan Pasal 2 Ayat 1 dan atau Pasal 3 UU 31 Tipikor Jo Pasal 55 KUHP dengan ancaman maksimal 20 tahun penjara. Kini mereka ditahan dan dititipkan ke sel Mapolres Bintan selama 20 hari.[zbr]