Dalam konteks itu, Indonesia, sebagai negara terbesar ASEAN, dituntut untuk mampu memainkan peran strategisnya, terutama pada tiga lingkungan strategis di kawasan.
Pertama, konflik Laut China Selatan. Beijing mengklaim hingga 90 persen perairan yang disengketakan berdasarkan sejarah sembilan garis putus-putus, tetapi pada 2016 Pengadilan Arbitrase Internasional memutuskan bahwa China tidak memiliki dasar hukum untuk mengklaim hak bersejarah atas sumber daya laut.
Baca Juga:
Presiden Terpilih Prabowo Subianto Dipuji Media Asing, Katakan Ini
Brunei, Malaysia, Filipina dan Vietnam mengklaim bagian laut yang tumpang tindih dengan klaim China dan memprotesnya.
AS telah mengkritik China karena telah melanggar hukum internasional, melakukan intimidasi serta memaksa negara Asia Tenggara yang terlibat. Ujungnya, militer dari kedua negara AS dan China hadir di perairan Laut China Selatan.
Meski Indonesia tidak banyak dirugikan dalam kasus ini, potensi ancaman besar di kepulauan Natuna sangat mungkin pecah di masa yang akan datang.
Baca Juga:
Kantongi 2 Medali Emas, Indonesia Naik ke Posisi ke-28 di Klasemen Olimpiade 2024
Menguatnya kemitraan US-ASEAN ini adalah kesempatan untuk memperkuat keseimbangan di kawasan Laut China Selatan.
Inilah saatnya Indonesia memperkuat posisinya di ASEAN untuk meminimalisasi konflik bersenjata.
Dalam berbagai kerja sama yang merespon Laut China Selatan, Beijing selalu menyatakan "mental perang dingin" terhadap AS.