Namun, yang lebih penting dari itu, adalah mempertahankan kebebasan penuh navigasi untuk semua orang di Laut Cina Selatan sebagai prioritas. Tidak hanya untuk negara penuntut tetapi juga untuk masyarakat internasional. Mengingat volume perdagangan internasional mengalir melalui perairan.
Kedua, mengembalikan kekuasaan junta militer di Myanmar kepada pemerintahan sipil. Setelah militer merebut kekuasaan pada Februari 2021, ASEAN mengundang panglima militer Myanmar di Jakarta dan menghasilkan “five point consensus.”
Baca Juga:
Presiden Terpilih Prabowo Subianto Dipuji Media Asing, Katakan Ini
Sayangnya, tidak ada pihak oposisi yang diajak berkonsultasi sebelum atau selama pertemuan, sehingga menimbulkan kesan bahwa ASEAN memberikan legitimasi kepada junta. Oposisi Myanmar tidak menerima konsensus tersebut.
Kini kelompok oposisi telah berubah menjadi kelompok perlawanan bersenjata. Ini terjadi karena rezim junta telah melakukan banyak pelanggaran HAM berat, membunuh para demonstran, membakar desa dan tindak pelanggaran lainnya. Konflik yang belum terlihat ujungnya ini berpotensi besar menjadikan Myanmar sebagai negara proksi.
Dalam jangka panjang, stabilitas di negara-negara ASEAN dapat terganggu.
Baca Juga:
Kantongi 2 Medali Emas, Indonesia Naik ke Posisi ke-28 di Klasemen Olimpiade 2024
Lebih dari itu, perdamaian di Myanmar adalah prioritas utama yang perlu diperjuangkan oleh Indonesia. Meskipun, negara-negara ASEAN terbelah dalam menyikapi kudeta militer Myanmar.
Ketiga, perubahan iklim.
Tantangan iklim di Asia Tenggara sangat nyata. Sebagian besar wilayah negara-negara ASEAN adalah maritim yang sangat rentan terhadap kenaikan permukaan laut, cuaca ekstrem, asap dari kebakaran yang melintasi batas negara, dan ketahanan pangan. Semua kondisi ini berpotensi memiliki dampak signifikan terhadap migrasi.