Ia lahir di Kota Lama, Ulu Riau, pada 1725 dan wafat di Teluk Ketapang, Melaka, Malaysia, 18 Juni 1784. Ia dimakamkan di Pulau Penyengat Inderasakti, Kota Tanjungpinang.
Namanya diabadikan dalam nama bandar udara di Tanjung Pinang, Bandar Udara Internasional Raja Haji Fisabilillah, dan salah satu masjid yang ada di Selangor, Malaysia.
Baca Juga:
Kementerian PU: Teladani Semangat Kepahlawanan Dalam Membangun Negeri
Raja Haji dikenal juga sebagai Raja Haji Marhum Teluk Ketapang adalah (Raja) Yang Dipertuan Muda Riau-Lingga-Johor-Pahang IV. Ia terkenal dalam melawan pemerintahan Belanda dan berhasil membangun Pulau Biram Dewa di Sungai Riau Lama.
Karena keberaniannya, Raja Haji Fisabililah juga dijuluki atau dipanggil sebagai Pangeran Sutawijaya (Panembahan Senopati) di Jambi.
Ia gugur pada saat melakukan penyerangan pangkalan maritim Belanda di Teluk Ketapang, Melaka, pada tahun 1784. Jenazahnya dipindahkan dari makam di Melaka ke Pulau Penyengat oleh anaknya, Raja Ja’afar (YDM) Riau VI.
Baca Juga:
Lapas Sibolga Gelar Upacara Peringatan Hari Pahlawan: Teladani Nilai-Nilai Kepahlawanan
Kemudian, Raja Ali Haji lahir di Pulau Penyengat, Tanjungpinang, Kepri, pada tahun 1808 dan meninggal di Pulau Penyengat, Kesultanan Lingga pada tahun 1873. Ia adalah ulama, sejarawan, dan pujangga abad 19 keturunan Bugis dan Melayu.
Dia terkenal sebagai pencatat pertama dasar-dasar tata bahasa Melayu lewat buku pedoman bahasa, buku yang menjadi standar bahasa Melayu. Bahasa Melayu standar itulah yang dalam Kongres Pemuda Indonesia 28 Oktober 1928 ditetapkan ditetapkan sebagai bahasa nasional, Bahasa Indonesia.
Mahakarya Raja Ali Haji yaitu Gurindam Dua Belas tahun 1847, menjadi pembaru arus sastra pada zamannya. Bukunya berupa kitab pengetahuan bahasa, yaitu Kamus Bahasa Melayu Riau-Lingga penggal yang pertama, merupakan kamus ekabahasa pertama di Nusantara.