CEO Pulau Nikoi dan Cempedak, Andrew Dixon (60) turut menyampaikan kekhawatiran serupa terhadap rencana pengembangan Pulau Poto, Andrew mengelola dua resor tersebut sejak 2007.
Selama ini, Nikoi dan Cempedak dikenal sebagai destinasi wisata berbasis konservasi yang mempekerjakan sekitar 250 warga Indonesia dan menarik hampir 10.000 wisatawan per tahun.
Baca Juga:
Polda Kepri Pecat Oknum Polisi yang Paksa Tersangka Narkoba Bayar Pakai Pinjol
"Cempedak dibuka pada 2017 sebagai perluasan Nikoi dengan segmen wisata pasangan dewasa. Hampir seluruh staf kami orang Indonesia. Kami aktif dalam konservasi laut, pengelolaan sampah plastik, dan pendidikan masyarakat lewat tiga yayasan lokal," kata Andrew.
Bersama organisasi Seven Clean Seas, lebih dari 350 ton plastik berhasil dikumpulkan selama masa pandemi. Selain itu, upaya konservasi dilakukan melalui pelestarian penyu, pelarangan penebangan pohon, dan pembersihan pantai dari limbah minyak.
Di bidang pendidikan, Yayasan The Island Foundation dan Yayasan Peduli Kepulauan Indonesia telah mendirikan 13 pusat belajar di desa-desa pesisir sejak 2009, termasuk di Desa Tenggel, Kelong, dan Air Gelubi.
Baca Juga:
8 Tahun Buron, Terpidana Kasus KDRT di Kepulauan Riau Ditangkap Kejari Gunungsitoli di Sirombu
Lebih dari 4.000 siswa telah mengikuti program yang mengedepankan metode berpikir kritis, kreativitas, kepercayaan diri, dan komunikasi.
Namun, semua pencapaian ini terancam oleh rencana industrialisasi Pulau Poto. Menurut Dixon, pihaknya mengetahui rencana tersebut pertama kali dari media lokal pada awal 2023.
"Kami sudah mengirim surat keberatan pada Agustus 2023, ditandatangani pelaku pariwisata di Pantai Timur Bintan. Hingga kini belum ada tanggapan dari pemerintah maupun pengembang," ungkapnya.