Andrew mengatakan, pembangunan kawasan industri di Pulau Poto dapat merusak ekosistem alami dan mengganggu pengalaman wisatawan. Kebisingan, polusi cahaya, serta sedimentasi dinilai akan merusak terumbu karang dan habitat laut.
Bersama dua ahli kelautan, Dr Mark Erdmann dan Dr Gerry Allen, pihaknya pernah memfasilitasi survei ilmiah yang menemukan delapan spesies ikan baru dan 220 spesies laut lain, beberapa di antaranya terancam punah.
Baca Juga:
Polda Kepri Pecat Oknum Polisi yang Paksa Tersangka Narkoba Bayar Pakai Pinjol
Pulau Poto juga menjadi habitat berbagai satwa langka, seperti trenggiling, lutung perak, berang-berang cakar pendek, merpati Nicobar, dan sejumlah jenis penyu serta lumba-lumba.
Universitas Maritim Raja Ali Haji (UMRAH) pernah menaksir nilai ekosistem Pulau Poto mencapai Rp753 triliun atau sekitar 45 miliar dollar AS.
"Belum ada kajian ekosistem yang dilakukan pengembang. Ditambah lagi, dengan status zona bebas pajak, proyek ini dikhawatirkan tak memberikan manfaat nyata bagi masyarakat lokal, kecuali pekerjaan berupah rendah," tegasnya.
Baca Juga:
8 Tahun Buron, Terpidana Kasus KDRT di Kepulauan Riau Ditangkap Kejari Gunungsitoli di Sirombu
Menurut Andrew, bentuk investasi ideal di pesisir timur Bintan adalah pariwisata dan perikanan berkelanjutan. Ia menilai pengembangan industri berskala besar, apalagi oleh konsorsium asing yang dibebaskan pajak selama 20 tahun, sebagai langkah keliru.
"Kawasan industri yang sudah ada saja hanya dihuni satu penyewa besar, yaitu PT BAI. Meluaskan kawasan dengan merusak hutan bakau, pulau alami, dan laut sensitif adalah kekeliruan," katanya.
Ia menyebut keberadaan industri akan mengancam kelangsungan hidup nelayan, komunitas lokal, dan pelaku wisata. Selain kehilangan sumber penghidupan, warga juga tidak dilibatkan dalam proses perencanaan.