Saat itu ia belum lama menyelesaikan pendidikan di Akademi Angkatan Bersenjata Republik Indonesia (AKABRI) di tahun 1971 dan menyelesaikan Pendidikan Penerbangan di 1973, dan memulai tugas operasional di skwadron 2 pada tahun 1974.
Ia mengaku kaget ketika dia harus meminta izin dari otoritas penerbangan Singapura, saat akan mengirimkan logistik ke Natuna.
Baca Juga:
Terminal Kalideres Cek Kelayakan Bus AKAP Menjelang Nataru
“Pada saat saya ingin berangkat dari Tanjung Pinang menuju Natuna, saya terperanjat karena harus mendapatkan clearance dari otoritas penerbangan Singapura. Ini sesuatu yang aneh bagi saya,” kata Chappy dalam sebuah diskusi baru-baru ini.
Menurutnya meminta izin terbang ke negara lain di wilayah yang masih ada dalam negara sendiri adalah sesuatu yang aneh.
Namun mulanya isu ini tidak mendapatkan perhatian serius dari pemerintah saat itu. “Ketika itu, masalah yang seperti ini saya angkat semuanya tidak ada yang peduli,” ujarnya.
Baca Juga:
Ketum TP PKK Pusat Survei Persiapan Operasi Katarak di RSUD Kalideres
Saat itu, ia tidak dapat berbuat banyak dan hanya melaporkan isu tersebut di tingkat levelnya saat di skuadron.
Seiring perjalanan karirnya di TNI AU, saat Marsekal Chappy menjabat Direktur Operasi dan Latihan (Diropslat) TNI AU (1996-1997), ia kembali mengangkat isu ini karena menghadapi banyak masalah terkait kedaulatan wilayah udara.
Pada tahun 2003, ketika dirinya menjabat sebagai Kepala Staf Angkatan Udara, ia mengusulkan untuk menghentikan semendatar DCA Territory Training, karena banyak permasalahan yang salah satunya terkait FIR.