Hasil laut jika beruntung dia tetap berbagi dengan pemilik kapal bagan serta para ABK bekerja di Kapal.
Solar Sulit didapatkan
Baca Juga:
680 Liter Pertalite Diamankan, Sat Reskrim Polres Subulussalam Tangkap Seorang Pria Diduga Lakukan Penyalahgunaan BBM
Tak hanya itu, ekonomi biaya tinggi juga terjadi akibat polemik bahan bakar minyak sebagai penggerak utama sarana tangkap para nelayan. Baru-baru ini, kelangkaan solar yang terjadi turut berdampak pada nelayan. Untuk mendapatkan solar, mereka harus mengantre cukup panjang di SPBU terdekat.
Namun, tidak semua nelayan mendapatkan jatah solar bersubsidi karena terganjal persyaratan dokumen. Akibatnya, mereka harus membeli solar eceran dengan harga yang lebih tinggi. Praktis, biaya operasional mereka pun kian besar. Padahal, BBM menjadi bagian vital dari aktivitas melaut dan biayanya mencapai 40 persen dari total biaya operasional.
Persoalan pun kini menimpa nelayan dimana Kelangkaan solar subsidi membuat nelayan di sejumlah daerah tidak bisa melaut.
Ketua Himpunan Nelayan Seluruh Indonesia (HNSI) Kabupaten Natuna, Hendri mengaku mendapatkan laporan bahwa nelayan di Natuna tidak bisa melaut karena kelangkaan solar.
Baca Juga:
Pertamina Patra Niaga Tindak Tegas SPBU Nakal
Apalagi, kondisi ini sebetulnya sudah dialami sekitar 3 bulan ini. “Meski sebenarnya bagi nelayan kecil nyaris sepanjang tahun mereka tidak bisa mengakses solar bersubsidi, membeli harga solar lebih mahal di eceran,” kata Hendri, pekan lalu, di Natuna.
Ia menuturkan ada dua faktor yang menyebabkan nelayan sulit mengakses solar subsidi. Pertama, nelayan kecil sulit mendapat surat rekomendasi dari dinas, karena administrasi yang tidak cukup. Kedua, infrastruktur SPBUN yang sedikit serta kuota yang tidak cukup.
Jadi sebagian besar nelayan kecil beli BBM di eceran dengan harga yang lebih tinggi. Padahal, biaya BBM itu sekitar 70 persen dari total biaya melaut,” jelasnya.